Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Selayang Pandang Wisata Bahasa di Malaysia

4 Januari 2018   11:04 Diperbarui: 4 Januari 2018   17:06 2682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock.com

Menjelang tahun baru 2018, saya bersama 12 teman-teman berwisata ke tiga tempat di Malaysia yaitu Kuala Lumpur, Genting dan Melaka. 

Judul tulisan ini saya namai "wisata bahasa" sekadar untuk bergurau saja, mengingat saya adalah pemerhati bahasa amatir, dan saya tertarik untuk memerhatikan perbedaan antara dua bahasa yang pada hakekatnya serumpun ini. 

Saya juga menulis kesan-kesan ringan yang mungkin juga tidak objektif karena ini saya rekam hanya selama lima hari melancong di negeri jiran ini. Orang Indonesia yang sudah lama bermukim di sana tentu mempunyai pandangan yang lebih komprehensif tentang seluk-beluk kehidupan di sana.

Setelah mendarat di bandara internasional Kuala Lumpur (KLIA), kami dijemput oleh oleh bus pariwisata kecil yang sudah kami carter secara online sebelumnya. Pada badan bus kiri dan kanan tertulis "Bas Persiaran". 

Kami tertawa geli membaca tulisan ini, karena tadinya menyangka ini adalah bus untuk siaran televisi. Ternyata maksudnya "bus untuk pesiar" atau kalau di Indonesia disebut dengan "Bus Pariwisata". Supir bus yang beretnis India menanyakan apakah semua orang sudah masuk ke dalam bus dan kami menjawab, "Masih satu lagi". 

Dan dia mengoreksi jawaban kami ini dengan "Masih seorang lagi". Rupanya istilah "satu" hanya digunakan untuk benda saja, sedangkan untuk manusia digunakan "seorang" di sana.

Kesan saya setelah melancong di tiga tempat, KL, Genting dan Melaka, mereka lebih tertib dibandingkan dengan negara kita. Saya sama sekali tak melihat tukang parkir liar di sana. Kalau pun ada kawasan yang harus membayar uang parkir, maka di situ disediakan mesin parkir (parkmeter). 

Istilah "parkir" dalam bahasa Malaysia adalah "meletak" atau "meletakkan", jadi kalau tersua pengumuman "dilarang meletak" artinya "dilarang parkir".

Rambu yang sering saya jumpai di kota-kota ini adalah "Sehala" atau "Laluan Sehala" yang sama sekali asing dalam kosakata kita. Ternyata "laluan sehala" artinya "lalu lintas searah" (one-way street). Saya pikir bagus juga kalau di Indonesia dipasang rambu peringatan "lalu lintas searah" sebab seingat saya di negara kita untuk jalan searah tak pernah diberi rambu seperti itu.

Rambu lain yang nyaris tak ada di tanah air kita adalah rambu mobil derek dengan tulisan "Zon Tunda". Sudah barang tentu "zon" ini tak ada kaitan dengan politikus Fadli Zon, namun bermakna "zona". "Tunda" bermakna "derek" (tow dalam bahasa Inggris). 

Jadi, kalau ada mobil yang mogok yang menghalangi lalulintas dan menyebabkan kemacetan, maka dia akan ditunda atau diderek. Bahkan ada rambu "Zon Tunda" dengan tulisan tambahan: 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun