Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sebuah Prosesi Pagi dengan Laron

5 Desember 2018   01:27 Diperbarui: 5 Desember 2018   02:19 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Belum sepuluh menit saya menyiapkan tempat menjemur, beberapa lalat menyerbu laron-laron. Ukuran lalat-lalat itu tidaklah besar. Justru karena tidak besar, gerakan mereka begitu leluasa dan benar-benar sulit diterka.

Wah, ini, lalat-lalat pengecut, menyerang lawan dalam kondisi sekarat, padahal aku hendak menolong agar segera sampai ke tempat tujuan.

Baiklah, laron-laron basah tidak perlu saya jemur, melainkan langsung saja saya bereskan, ditambah oleh situasi yang mendadak krusial itu. Saya harus mencari tempat yang lebih aman.

Saya berpikir sejenak. Tidaklah mungkin saya berpindah ke ruang di dalam. Serpihan-serpihan sayap laron bisa menyampahi ruangan apalagi kalau ditiup angin. Ujung-ujungnya saya sendiri yang akan repot dengan menyapu sana-sini.

Sementara kawan saya menahan tawa ketika melihat saya kerepotan menghalau serbuan lalat. Sesekali ia menyeruput kopi dengan mulut masih berisi segigit jajanan pasar. Sepiring jajanan pasar yang dibelikannya tadi tergeletak di atas meja depannya. Di situ pun secangkir kopi hitam saya masih utuh.

Di meja itu pun teronggok 3 buku karya tunggal saya yang terbaru. Ketiganya saya kerjakan sendiri seperti  belasan buku saya sebelumnya. Menulis dengan tekun, menyusun kembali, menata, memeriksa aksara, membuat ilustrasi, dan seterusnya hingga naik cetak di sebuah percetakan. 

Semua buku saya memang saya kerjakan sendiri karena saya selalu serius memperlakukan karya-karya saya sendiri. Hal tersebut sudah saya obrolkan dengannya tadi. Saya sangat menikmati prosesi pembuatan buku-buku saya, dan saya ceritakan pula pada kawan saya. Sejujurnya pula saya sampaikan bahwa situasi pengerjaannya tidaklah selalu kondusif alias ada saja yang "mengganggu", meskipun saya anggap sebagai cobaan dan tantangan bagi keseriusan saya sendiri. 

Sarapan tinggal sarapan di meja, hidup sudah praktis, warung-warung sudah buka, dekat Siloam masih ada yang jual kue-kue, kok malah menyusahkan diri sindiri, sih?

Saya tidak menghiraukan komentarnya. Yang penting, tadi malam ia tidak tahu, saya sudah repot terlebih dulu karena ia sudah tidur lantaran kelelahan sepulang dari menempuh pendidikan pascasarjana di Bandung. Laron-laron menyerbu lampu teras, saya kebingungan mencari ember. Ternyata ember berada di tempat yang tidak biasa alias di antara batang-batang pisang.

***

Di atas penutup bak penampung air berukuran 2 m x 3,5 m saya melucuti sayap laron-laron dengan kuku jempol. Harus sabar dan hati-hati karena sebagian pangkal sayap masih lekat di punggung. Kalau terburu-buru atau kurang sabar, pangkal sayap yang terlucuti bisa disertai kulit punggungnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun