Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Hujan Bunga Mangga

28 November 2018   05:41 Diperbarui: 29 November 2018   09:08 1268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (pixabay/Patounet54)

Baru satu minggu berada di Kupang, dan tinggal sementara di rumah singgah, tadi siang saya mendengar kabar bahwa seorang tukang perbaikan atap tersengat listrik di atap rumah sebelah lalu dilarikan ke rumah sakit. Mujurnya, sengatan tidak berakhir maut.

Atap rumah di sebelah rumah singgah, dan beberapa rumah sekitarnya, memang menggunakan seng. Baik rumah permanen maupun semi permanen berdinding bebak (pelepah pohon gewang yang digepengkan), seng menjadi andalan sebagai penutup atap. Tidak membutuhkan banyak kayu untuk rangka atap, dan pemasangannya lebih praktis.

Persoalan sengatan listrik yang dialami tukang di atap itu, tentu saja, karena seng berpotensi mengantarkan arus listrik. Pasti ada kabel berarus listrik yang bocor atau lecet di bagian atas rumah. Petugas dari PLN sudah dipanggil tetapi saya tidak tahu kelanjutannya.

Saya hanyalah pendatang sementara di Kota Kasih. Itu pun karena panggilan Demun untuk membantunya mengurusi perencanaan dan perancangan untuk sebuah rumah singgah yang baru karena profesi saya memang arsitek.

"Kamu tinggal di rumah singgah, di kamar yang pernah ditempati Julia. Tempat tidur sudah disiapkan Piter, Ji," ujar Demun sambil mengantarkan saya ke sebuah ruang di sebelah kanan ruang utama ketika baru datang pada awal Agustus.

"Ya," sahut saya sambil mengikutinya.

Ya, saya hanya manut. Biasa saja karena kedatangan saya kali ini sudah yang keempat. Tahun lalu saya datang, dan menempati ruang di sebelah kiri untuk tidur. Kini ruangan itu sudah menjadi ruang kerja Demun sekaligus perpustakaan yang berisi buku-buku sosial-politik. Tahun sebelum-sebelumnya saya menempati ruang belakang, yang berdekatan dengan dapur, tetapi kini sudah beralih fungsi, yaitu perpustakaan kecil yang berisi buku-buku lama.

Saya tinggal sendirian di rumah singgah milik Demun. Ketika saya belum datang, ada dua orang yang secara bergiliran tidur di rumah singgah. Yang paling kukenal adalah Sarwan, yang juga mantan mahasiswanya Demun di Universitas Nusa Cendana. Terkadang beberapa rekan mereka ikut tidur di rumah singgah setelah beraktivitas.

Kami menyebutnya "rumah singgah" karena sering menjadi tempat persinggahan, baik untuk kalangan lokal, interlokal, dan internasional. Aktivitas di rumah singgah pun beraneka. Rapat, diskusi, penyuluhan, baca buku, dan lain-lain. Sebagian tamu, semisal saya yang dari Balikpapan atau Julia yang dari Amerika, mendapat ruang khusus, meski bisa berpindah posisi.

Saya berkawan dengan Demun sejak masih kuliah di Yogyakarta. Meski berbeda Jurusan atau Program Studi, dan tahun masuk, kami pernah aktif di pers mahasiswa. Saya kuliah di Jurusan Arsitektur, dan menangani ilustrasi dan kartun opini. Demun kuliah di Jurusan Komunikasi Politik, dan menangangi berita dan opini.

Perkawanan antara saya dan Demun berlanjut sampai kami bekerja pada bidang kami masing-masing. Saya menjadi arsitek lepas, dan Demun menjadi dosen, apalagi sudah meraih gelar Ph.D. di Amerika. Saya dipanggilnya untuk urusan bangunan miliknya atau milik keluarga orangtua serta mertuanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun