Saat sampai di kelas, temannya meminta bantuan. Dengan sombong ia berkata,
“Kalau kamu tidak bisa kerjakan soal ini, sebaiknya kamu saja yang hilang dari sekolah.”
Besoknya, teman itu benar-benar pindah sekolah tanpa pamit.
Hari-hari berikutnya, ucapan Ais semakin liar. Saat marah pada gurunya, ia berkata,
“Semoga guru ini sakit biar tidak masuk lagi!”
Dan keesokan harinya, sang guru benar-benar jatuh sakit dan tidak mengajar.
Awalnya, Ais merasa punya kekuatan besar. Ia bisa mengubah hidup hanya dengan kata-kata. Namun semakin lama, ia mulai ketakutan. Kata-katanya yang diucapkan tanpa pikir panjang selalu membawa bencana.
Suatu malam, dalam keadaan marah besar karena ditegur ayahnya, Ais berteriak:
“Andai saja aku tidak pernah punya keluarga ini!”
Dan besoknya, ia terbangun sendirian. Rumahnya kosong, seolah-olah ia tidak pernah memiliki ayah dan ibu. Foto-foto keluarga hilang, tak ada yang mengenalnya sebagai anak siapa pun.
Ais panik. Ia berlari mencari kakek tua itu, berteriak-teriak meminta penjelasan. Di tengah hujan deras, suara itu muncul kembali:
“Kau sudah kuberi peringatan. Lidahmu adalah pedang. Sekali kau ayunkan, tak bisa ditarik kembali.”
Ais menangis, memohon,
“Tolong kembalikan keluargaku! Aku tidak akan sembarangan bicara lagi!”
Kakek itu menatapnya dingin.
“Lidahmu menentukan masa depanmu. Kau ingin keluargamu kembali? Maka ucapkanlah, tapi ingat: pengorbanan selalu ada.”
Dengan air mata bercucuran, Ais berkata,
“Aku rela kehilangan semua kesombongan, asal keluargaku kembali.”
Keesokan paginya, Ais terbangun dengan tubuh lemas. Ia kembali berada di rumah bersama orang tuanya. Ibunya menatapnya penuh cemas.
“Is, kamu sakit? Semalam kamu mengigau terus, bilang jangan biarkan aku hilang.”