Mohon tunggu...
Guntur Ramadan
Guntur Ramadan Mohon Tunggu... Pegiat Ekonomi Publik

saya Guntur Ramadan, Sehari-hari saya berkutat dengan angka, laporan, dan strategi perpajakan perusahaan. Namun, di balik rutinitas itu, saya senang berbagi pemikiran, cerita, dan pengalaman melalui tulisan. Bagi saya, menulis bukan hanya menuangkan ide, tapi juga cara untuk belajar hal baru dari pembaca lain. Topik yang sering menarik perhatian saya meliputi perpajakan, dunia kerja, bisnis, hingga refleksi kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Strategi Menkeu Taruh 200 Triliun di Bank: Solusi atau Bom Waktu ?

17 September 2025   16:22 Diperbarui: 17 September 2025   16:22 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Jakarta --- Keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menempatkan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun ke lima bank BUMN menjadi sorotan publik. Langkah yang diumumkan pasca reshuffle kabinet ini dipandang sebagai strategi berani untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, di balik ambisi tersebut, muncul pula kekhawatiran terkait risiko hukum, stabilitas keuangan, dan efektivitas kebijakan.

Purbaya menyatakan bahwa dana jumbo tersebut ditujukan untuk memperkuat likuiditas perbankan sekaligus memperbesar kapasitas kredit produktif, khususnya bagi sektor-sektor strategis yang mendorong lapangan kerja. "Ekonomi tidak bisa menunggu. Dana ini harus segera mengalir ke dunia usaha, bukan hanya tersimpan di kas pemerintah," ujarnya di Jakarta pekan lalu.

Strategi ini berbeda dengan pendekatan pendahulunya, Sri Mulyani Indrawati, yang cenderung menjaga disiplin fiskal dan berhati-hati dalam mengelola kas negara. Perubahan arah kebijakan ini pun menandai perbedaan gaya antara dua menteri keuangan tersebut.

Meski terlihat menjanjikan, bank-bank penerima dana mengaku menghadapi tantangan besar. Beberapa direktur utama bank BUMN menyampaikan bahwa jumlah Rp200 triliun terlalu besar untuk langsung diserap. "Kami tentu menyambut baik kepercayaan pemerintah, tetapi penyaluran kredit produktif tidak bisa serta-merta dilakukan. Ada faktor risiko dan kualitas debitur yang harus diperhitungkan," kata seorang direktur utama bank pelat merah yang enggan disebutkan namanya.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mengingatkan bahwa masuknya dana sebesar itu akan memberi dampak besar pada sistem perbankan. Ketua Dewan Komisioner OJK menegaskan, "Jika tidak dikelola hati-hati, dana jumbo ini bisa menimbulkan distorsi, baik dari sisi likuiditas maupun pengendalian risiko kredit."

Dari sisi regulasi, kebijakan ini mendapat sorotan tajam dari kalangan DPR. Anggota Komisi XI DPR, misalnya, menilai bahwa langkah tersebut berpotensi melanggar Undang-Undang Keuangan Negara dan aturan terkait pengelolaan APBN. "Penggunaan dana publik harus melalui mekanisme yang jelas. Kalau langsung dipindahkan ke bank tanpa landasan hukum yang kuat, ini bisa jadi masalah konstitusional," tegasnya.

Sejumlah ekonom independen juga menekankan aspek tata kelola. Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai, "Transparansi adalah kunci. Publik berhak tahu bagaimana dana Rp200 triliun ini dialokasikan, sektor apa saja yang akan mendapat kredit, dan bagaimana mekanisme pengawasannya."

Selain masalah hukum, risiko fiskal juga menjadi perhatian. Meski Menkeu Purbaya menegaskan bahwa defisit anggaran tetap dijaga di bawah 3 persen PDB sesuai aturan, beberapa analis menilai ada potensi ketidakpastian jika dana ini tidak segera kembali ke kas negara.

Ekonom Universitas Indonesia menilai, "Pertanyaannya sederhana: apakah bank mampu menyalurkan kredit sebesar itu dengan cepat? Jika tidak, dana akan mengendap, dan efektivitasnya menjadi nol. Bahkan bisa berisiko jika pemerintah tiba-tiba membutuhkan dana darurat."

Dari sisi makroekonomi, potensi lonjakan kredit produktif bisa berdampak positif pada pertumbuhan. Namun, jika tidak diimbangi dengan pengawasan, risiko kredit macet juga membayangi. "Kita pernah belajar dari krisis 1998 bahwa penyaluran kredit yang dipaksakan bisa berakhir bencana," kata ekonom tersebut.

Kini, bola panas berada di tangan pemerintah dan perbankan. Jika strategi Rp200 triliun ini berhasil, pertumbuhan ekonomi bisa terdorong lebih cepat, lapangan kerja bertambah, dan kepercayaan investor meningkat. Namun, jika salah kelola, kebijakan ini bisa berubah menjadi bom waktu yang mengguncang stabilitas fiskal dan perbankan.

Publik pun menanti, apakah langkah agresif Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa akan tercatat sebagai terobosan bersejarah dalam kebijakan fiskal Indonesia, atau justru menjadi kontroversi panjang yang meninggalkan jejak krisis baru.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun