Mohon tunggu...
Guido Famula
Guido Famula Mohon Tunggu... Freelance -

Tidak Ada Yang Terlalu Istimewa, Hanya Menikmati Faham Berbagi Dan Terus Berusaha Mengembangkan Diri. Regards: http://www.gofalatrip.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rasa Tulus Itu Cuma Gimmick ?

12 April 2019   14:50 Diperbarui: 12 April 2019   14:52 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Telah sering kita dengar, bahkan mengalami: Aku tulus membantunya, saya tulus menolongnya, gue harus tulus.

Sampai-sampai reaksi mendengarkan orang yang obral kata tulus, sudah seperti pegiat MLM gelap.

Kembali pada point: aku tulus mencintainya?

Tentu sepasang kekasih, baik yang sudah sah menikah atau yang masih abu-abu(pacaran), kerap menimbang-nimbang, apa benar dia tulus?

Secara harafiah yang bersumber dari KBBI, kata tulus merupakan seorang penyanyi.

Bukan itu ! (guyon bentar dong)

Tulus menurut kamus besar bahasa indonesia adalah bersih hati yang sepadan dengan sungguh-sungguh, hati ikhlas - anti drama, pokoknya murni.

Lalu coba kita telaah baik-baik.

Manusia seperti apa yang mampu konsisten tulus seperti itu, terkecuali Nabi-nabi terdahulu.

Berharap KBBI mencantumkan tanpa pamrih pada pengertian tulus, namun tidak ditemukan.

Apa mungkin tanpa pamrih, hanya masuk pada pengertian harafiah IKHLAS?

Tidak juga.

Oh iya, sepertinya KBBI paham akan karakteristik manusia, bahwa melakukan hal yang tanpa pamrih hampir sulit ditemukan pada diri manusia, dewasi ini !?

Selalu ada keinginan, cita-cita, dan harapan yang berdampak untuk diri pribadi, meskipun itu positif, tetap saja namanya mengharapkan pamrih?

Sekarang coba kita sandingkan pengertian harafiah Tulus, terhadap yang kita cintai, sayangi, atau harapkan.

Contohnya pada sepasang kekasih, kita tulus mencintainya, tapi berharap dia berlaku juga demikian, betul tidak?

Kita wajib berbakti kepada orang tua, pasti ada harapan pribadi agar kita selamat dunia akhirat alias tidak durhaka

Kedua contoh di atas, secara dasar cukup mewakili bahwa kita sebagai manusia mendambakan win win solution.

Kadang kita berharap manis, dengan apa yang kita tabur selaras dengan yang nanti kita akan tuai.

Pernah merasakan, kita berdalih tulus mencintainya, dengan pembelaan sudah memberikan semuanya, harta benda, waktu dan segala macam.

Sampai-sampai berfikir tidak bisa hidup tanpa dia.

Klisenya tulus tapi realitanya itu bulus yang dibungkus.

Karena jika tulus tak terbalas, kecewa yang didapat !

Semisal dalam kehidupan sebagai anak yang baru merintis karier atau fresh graduate, lalu berusaha tulus melakukan segala pekerjaan dan hal positif untuk mengisi waktu luang atau mengejar cita-cita, berharap dapat membuat orang tua senang.

Tapi kenyataannya, masih saja ditagih kapan dapat kerjaan yang sehari-hari kerja menggunakan dasi, pergi pagi pulang sore, sabtu minggu libur, ya minimal PNS.

Sepertinya tulus, tapi tetap saja menjunjung simbiosis mutualisme.

Tidak ada yang salah dengan semuanya itu.

Subjektifnya, berharap tulus dibarengi dengan penguatan jujur dalam penyampaian, keinginan atau sebab akibat.

Sebagaimana orang tua (Tulus) menghidupi kita, menyekolahkan, memberikan uang dan kalau bisa segalanya diturunkan ke anak-anaknya.

Bukan hanya berpegang kata tulus, tapi lebih ke rasional tanggung jawab.

Berharap jika menuntaskan tanggung jawab tersebut, si anak dapat sukses, beguna bagi Agama dan Negara.

Niscaya nama baik dan gengsi keluarga akan meningkat, lalu  outputnya orang tua mendapatkan tempat yang layak ketika di Akhirat nanti.

Namun yang namanya orang tua, untuk lebih terbuka itu sulit.

Kita semuanya bakal merasakan jadi orang tua, sulit kiranya untuk jujur, terlebih akan berpengaruh terhadap elektibilitas kepala keluarga dirumah.

Kebanyakan dibungkus, ingin melihat anak-anak nya bahagia, tidak dirundung masalah besar dan segala macam negatif lainnya.

Padahal ujung-ujungnya mendambakan feedback positif pada diri pribadi.

Belum lagi jika melihat anak yang diharapkan, melenceng dari didikan dan keinginan keluarga, kerap berdalih susah tidur, sulit makan dll.

Iya memang benar, karena beban tanggung jawab memang luar biasa hebat, salah satunya khawatir gagal mendapatkan tiket surga (mungkin), atau nama baik dan gengsi keluarga tersebut.

Mungkin, ada yang berkata, tidak semua orang tua demikian...

Benar sekali, sama seperti menggunakan kata tulus bukan berarti semuanya dapat berlaku sebagai kerelaan dan kejujuran.

Kalau untuk percintaan?

Apalagi ini, jika tidak mapan, cantik, tampan, menghasilkan kebahagiaan, atau enak enak, siapa yang sudi tulus?

Contohnya: banyak yang gembar -gembor harus saling menerima kekurangan dan kelebihan.

Perhatikan kata SALING di atas, bukan kah itu masuk dalam faham simbiosis mutualisme atau murni tulus?

Mmmmmm !?

Mengapa ada kata kecewa?

Ya.. Karena multitafsir kata tulus..

Egois ya?

Karena memang pada dasarnya, manusia itu egois.

Jadi, apa konklusinya?

Tetaplah Jujur.. Jangan lips service mode tulus melulu.

Katakan saja, jika kita melakukan atau memberikan ini, lalu berkemauan mendapatkan itu.

Jangan takut mengatakan, apalagi mundur dari argumen .

Mau jangka pendek atau panjang, katakan saja maksud dan tujuan.

Ingat: tahu sama tahu, enak sama enak. Kompak dikit dong !?

Jika kesalahpahaman menghhampiri, sakitnya hanya cukup didepan dan tidak berkepanjangan.

Dari pada tulus = palsu, sakitnya nyicil tapi setiap saat.

Kalau sulit berkata jujur, cukup diam dan menghindar, biar isyarat tubuh kita yang menjelaskan.

Jika tertekan dan harus membutuhkan jawaban, ya sudah jujur saja.

Mungkin jujur bisa membuat mati atau kehilangan harta, tapi secara tak langsung kita membangun nilai positif pribadi untuk dunia dan akhirat.

Sekian.

Kurang dan lebihnya, mohon maaf, karena jujur saja, tulisan ini dibuat berdasarkan asumsi yang mungkin penulis sedang dalam pengaruh kenaifan pola pikir.

Terima kasih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun