Semasa itu juga, para petani di Pacar dan wilayah lain hidupnya masih bergantung dengan pisang, umbi-umbian, kopi dan kemiri. Sama sekali belum mencoba alternatif komoditas lain. Berkenaan dengan itu, Pater Allan memperkenalkan tanaman baru (baca: cengkeh) ini kepada mereka.
Dengan begitu, sekitar tahun 1975, umat di Paroki Pacar dan sekitarnya mulai gencar menanam cengkeh.
Sebenarnya bukan hanya kursus pertanian saja yang dlakukan oleh Pater Allan sewaktu itu. Melainkan juga turut membuka sekolah, kursus pertukangan dan berbagai keahlian lainnya.
Dengan begitu, kehadiran Pater Allan dari Kongregasi SVD (Societas Verbi Devini) di Pacar, begitu di sambut dengan baik oleh umat.
Namun sepeninggalan beliau, hingga saat ini spirit itu seakan mulai hilang dalam gereja Katolik di Paroki Pacar. Lebih tepatnya, pada diri imam-imam yang berkarya setelahnya.
Pendek kata, berkat kepiawaian dan semangat misi menggereja ala Pater Allan sewaktu itu, kini saya boleh berkesimpulan bahwa, setiap petani cengkeh di Pacar saat ini secara ekonomi hidupnya lumayan baik.
Karena pada dasarnya, cengkeh merupakan salah satu komoditas unggulan dengan segudang manfaat. Begitu juga bila kita berbicara soal harga.
Cerita baik ini tentunya tak terlepas dari karya dan/atau andil Pater Allan pada empat puluh tahun yang lalu. Di mana beliau tak hanya menanamkan semangat spiritual, tapi juga semangat pembaharuan ekonomi dan pemberdayaan umat.
Hakikat karya pastoral Pater Allan ada pada keseimbangan semangat spiritual dan kesejahteraan hidup umat. Itu pandangan saya tentang filosofi yang ditanamkan oleh Pater Allan. Meski dalam hal ini, ia tak pernah menyatakan dengan tegas.
Akhirul kata, Opa Pater, ini catatan kenang-kenangan spesial dari saya untukmu. Semoga tetap sehat, panjang umur dan senantiasa semangat mengemban karya pastoral di Keuskupan Sorong, Papua.