Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Antara Omong Kosong, Kekosongan, dan Kesadaran

1 Desember 2021   18:20 Diperbarui: 1 Desember 2021   18:31 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antara OMONG KOSONG, KEKOSONGAN, dan KESADARAN (Ilustrasi Pribadi)

Ketika belum mengerti kebenaran, maka kita akan sibuk berbicara yang tak lebih adalah omong kosong.

Ketika kita memahami kebenaran tak akan banyak bicara lagi hanya akan mengalami. Menyediakan kekosongan untuk menampung apapun.

Ketika kesadaran tercapai, maka tidak perlu kata-kata lagi. Karena apapun itu adalah kebenaran. Kesadaran tidak bergantung pada kata-kata.

Yang menjadi harapan adalah dari omong kosong lalu menuju kekosongan dan akhirnya mengalami kesadaran. Mestinya ini adalah proses menuju kepada kesejatian.

Di mana kita memahami kebenaran akan siapa diri yang sesungguhnya. Bukan sekadar katanya, tetapi benar-benar mengalami.

Omong Kosong

Secara umum manusia yang masih melekat kepada duniawi tak lebih hidup dalam omong kosong. Berkata kebenaran, isinya kosong. Apalagi yang selalu merasa dirinya paling benar, justru adalah paling omong kosong.

Yang dikatakan kebenaran sekadar benar. Bukan benar-benar benar. Apakah rasa makanan dapat diceritakan melalui kata-kata?

Omong kosong dalam hal ini bukan hanya kata-kata manis semacam bualan atau kebohongan, tetapi segala apa yang dapat dikatakan. Sebab kata-kata bukanlah kebenaran. Kata-kata tak lebih adalah omong kosong.

Apakah kita percaya apa yang tertulis buku itu kebenaran?

Baik. Apakah masih ada kebenaran di sana, apabila buku itu dibakar? Yang ada hanyalah debu. Bahkan tak akan tersisa apapun ketika angin bertiup.

Ketika kita memahami semua kata-kata adalah omong kosong, agar kita tidak melekat pada kata-kata sebagai kebenaran. Dengan demikian akan menuju kepada tahap kekosongan.

Kekosongan

Untuk urusan pembahasan kekosongan kita akan menemukan banyak referensi dan versi. Sekali lagi semua hanya teori dan ujung-ujungnya jadi omong kosong. Semakin membaca otak akan semakin kosong. Alih-alih mencerahkan. Karena kita terlalu melekat kepada kata-kata yang ada.

Tentu saja kekosongan di sini buka bermakna hampa. Tidak ada isi. Seperti seseorang yang mengalami kekosongan jiwa. Berbeda.

Secara umum dijelaskan. Bukan ada bukan tiada. Bukan keduanya. Pun bukan bukan keduanya. Bingung, kan? Namun, seperti itulah penjelasan kebenarannya. Saya tidak hendak mengatakan ini adalah kebenaran.

Ketika saya memegang sebuah apel, jelas tampak ada. Lalu saya makan. Apakah apel itu masih ada?

Ada dalam pikiran atau mungkin dalam bentuk foto.

Namun, tidak benar-benar ada karena sudah berubah jadi entah apa. Mungkin suatu hari akan berubah jadi sayuran karena pas buang air besar di kebun. Bisa juga berubah jadi daging ayam karena kotoran tersebut dipatok ayam.

Apabila kita berusaha memahami dengan kepintaran atau pun dengan penjelasan kata-kata tak akan membangkitkan kesadaran kita.

Padahal secara sederhana saja dapat menyimpulkan kebingungan itu bernama kemelekatan. Kita terlalu melekat pada kata-kata.

Ketika masih ada kemelekatan, maka sulit kita untuk memahami dan mengalami kekosongan.

Kekosongan itu adalah berisi dan akan selalu terisi. Berbeda dengan kesombongan yang merasa berisi, sehingga tidak bisa diisi lagi.

Alam semesta adalah contoh nyata dari kekosongan. Semesta ini dapat menampung segalanya. Baik yang kasat mata maupun tidak.

Dalam hal ini apa yang tidak kasat mata bukan berarti tiada. Seperti udara dan gas atau zat-zat lain, semuanya ada mengisi alam semesta ini.

Melalui pemahaman akan kekosongan ini pada akhirnya membangkitkan kesadaran dalam diri  kita yang masih tertidur.

Kesadaran

Mengapa masih di dunia masih banyak yang tidak mencapai kesadaran?

Entah bercanda atau serius seorang teman spiritual mengatakan bahwa manusia yang mencapai kesadaran itu masih di bawah 10 persen.

Saya bisa paham bila ia mengatakan demikian. Saya sendiri katanya masih timbul tenggelam kesadarannya. Terus lihat kiri kanan sama juga. Tidak heran memang dengan kondisi dunia saat ini.

Realitasnya masih betapa melekatnya pada kehidupan dunia. Sulit melepaskan akan kemelekatan. Ini yang menjadi beban kita untuk melepaskan diri menggapai kesadaran.

Ibarat sebuah balon yang masih terikat pada sebuah batu atau tiang sehingga tidak bisa terbang mengangkasa. Demikianlah kita. Selama.kita masih melekat kepada keduniawian, maka kesadaran masih jauh dari jangkauan.

Namun, pada kenyataan juga setiap manusia memiliki potensi untuk mencapai kesadaran tertinggi. Karena setiap manusia memilikinya.

Artinya, jadi manusia jangan sampai terlena sibuk dalam omong kosong, sehingga tidak memahami kekosongan yang menjadi jembatan untuk menyeberangi lautan kemelekatan agar  sampai pada pantai seberang kesadaran.

@cermindiri 30 November 2021

**

Penulis: Katedrarajawen untuk Grup Penulis Mettasik

Katedrarajawen untuk Grup Penulis Mettasik (Ilustrasi Pribadi)
Katedrarajawen untuk Grup Penulis Mettasik (Ilustrasi Pribadi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun