Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Antara Omong Kosong, Kekosongan, dan Kesadaran

1 Desember 2021   18:20 Diperbarui: 1 Desember 2021   18:31 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antara OMONG KOSONG, KEKOSONGAN, dan KESADARAN (Ilustrasi Pribadi)

Baik. Apakah masih ada kebenaran di sana, apabila buku itu dibakar? Yang ada hanyalah debu. Bahkan tak akan tersisa apapun ketika angin bertiup.

Ketika kita memahami semua kata-kata adalah omong kosong, agar kita tidak melekat pada kata-kata sebagai kebenaran. Dengan demikian akan menuju kepada tahap kekosongan.

Kekosongan

Untuk urusan pembahasan kekosongan kita akan menemukan banyak referensi dan versi. Sekali lagi semua hanya teori dan ujung-ujungnya jadi omong kosong. Semakin membaca otak akan semakin kosong. Alih-alih mencerahkan. Karena kita terlalu melekat kepada kata-kata yang ada.

Tentu saja kekosongan di sini buka bermakna hampa. Tidak ada isi. Seperti seseorang yang mengalami kekosongan jiwa. Berbeda.

Secara umum dijelaskan. Bukan ada bukan tiada. Bukan keduanya. Pun bukan bukan keduanya. Bingung, kan? Namun, seperti itulah penjelasan kebenarannya. Saya tidak hendak mengatakan ini adalah kebenaran.

Ketika saya memegang sebuah apel, jelas tampak ada. Lalu saya makan. Apakah apel itu masih ada?

Ada dalam pikiran atau mungkin dalam bentuk foto.

Namun, tidak benar-benar ada karena sudah berubah jadi entah apa. Mungkin suatu hari akan berubah jadi sayuran karena pas buang air besar di kebun. Bisa juga berubah jadi daging ayam karena kotoran tersebut dipatok ayam.

Apabila kita berusaha memahami dengan kepintaran atau pun dengan penjelasan kata-kata tak akan membangkitkan kesadaran kita.

Padahal secara sederhana saja dapat menyimpulkan kebingungan itu bernama kemelekatan. Kita terlalu melekat pada kata-kata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun