Mohon tunggu...
Greg Satria
Greg Satria Mohon Tunggu... FOOTBALL ENTHUSIASTS

Just Persistence

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kontroversi Dua Bola Mati di Pekan Perdana Premier League 2025/2026

18 Agustus 2025   09:01 Diperbarui: 18 Agustus 2025   09:01 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kompasiana - Gong pembuka liga terbaik di dunia, Premier League, telah dipukul. Lampu sorot sudah kembali menyinari rumput hijau, di mana drama, emosi, dan -- tentu saja -- kontroversi, kembali menjadi bumbu utama. 

Hingga Minggu malam, sudah 18 tim menunaikan laga perdana mereka, namun, ada dua insiden bola mati yang menyisakan pertanyaan besar dan menyelimuti atmosfer dua pertandingan krusial.

Pertama, di atas rumput Stamford Bridge, gol tendangan bebas Eberechi Eze dianulir oleh wasit karena satu aturan detail yang, jujur saja, mungkin hanya segelintir orang yang hafal di luar kepala. 

Insiden kedua, yang sudah menjadi kebiasaan taktis nan licik, adalah gol tunggal Arsenal ke gawang Manchester United. 

Gol tersebut lahir dari skema sepak pojok di mana satu pemain The Gunners dengan sengaja melakukan "gangguan" terhadap kiper lawan.

Secara aturan, kedua hal ini mungkin saja sah-sah saja di mata hukum sepak bola saat ini. Tapi, secara dampak, otoritas wasit dan liga mungkin harus mengevaluasi dua tindakan yang "sejenis" ini. 

Mereka sama-sama memanfaatkan celah aturan untuk mengganggu tatanan pertahanan lawan, yang secara naluriah harusnya dilindungi. Mari kita bedah lebih dalam.

Anulir Gol Eberechi Eze dan Tegaknya Aturan 13 IFAB

Laga Chelsea versus Crystal Palace di Stamford Bridge berjalan dengan tensi tinggi. Pada menit ke-13, Palace mendapatkan tendangan bebas di posisi yang sangat ideal, tepat di depan kotak penalti Chelsea. 

Eberechi Eze, yang dikenal sebagai salah satu eksekutor tendangan bebas terbaik di Liga Inggris, mengambil alih tanggung jawab ini. 

Tembakan melengkung kerasnya meluncur indah, menembus celah di antara para pemain bertahan, dan bersarang telak di jala Robert Sanchez. 

Sorakan suporter Palace meledak, para pemain pun sempat merayakan, mengira mereka sudah unggul.

Namun, seperti halnya "suara hati" yang datang di saat tak terduga, ada panggilan dari VAR. Wasit Darren England dipanggil untuk melihat monitor di pinggir lapangan. Setelah peninjauan, sang pengadil membatalkan gol tersebut.

Melalui mikrofon, ia memberikan penjelasan yang jarang kita dengar di lapangan: "Setelah peninjauan VAR, wasit membatalkan keputusan awal gol untuk Crystal Palace. Setelah peninjauan, pemain tandang nomor enam (Marc Guehi) berjarak kurang dari satu meter dari pagar pemain saat tembakan dilakukan. Oleh karena itu, itu adalah tendangan bebas tidak langsung (untuk Chelsea) dan gol dianulir."

Apa yang sebenarnya terjadi? Pada tayangan ulang, terlihat bahwa bek Palace, Marc Guehi, secara sengaja mendorong Moiss Caicedo untuk membuka celah bagi Eze. 

Caicedo, yang bukan bagian dari pagar betis konvensional yang berjajar rapi, justru didorong oleh Guehi ke arah pagar hidup itu sendiri. Posisi Guehi yang terlalu dekat, kurang dari satu meter, membuat ia terkena pelanggaran. 

Ini sesuai dengan pasal 13 dari IFAB (Dewan Asosiasi Sepak Bola Internasional) yang berbunyi:

"Jika, saat tendangan bebas dilakukan, pemain tim penyerang berjarak kurang dari 1 m (1 yd) dari 'pagar pemain' yang dibentuk oleh tiga atau lebih pemain tim bertahan, tendangan bebas tidak langsung diberikan."

Uniknya, andai saja dorongan Guehi menjauh dari pagar betis Chelsea, gol tersebut mungkin bisa disahkan. Namun, karena aksinya mengarah ke pagar betis, hal itu dianggap sebagai upaya ilegal untuk membongkar pertahanan lawan. 

Kejadian ini menjadi pengingat bahwa sepak bola modern bukan hanya soal mencetak gol, tetapi juga tentang memahami setiap pasal dan sub-pasal yang ada di buku aturan.

Di momen gol Calafiori terlihat Saliba mendorong mundur Bayindir dengan tubuh belakangnya. Sumber : Reuters/Jason Cairnduff
Di momen gol Calafiori terlihat Saliba mendorong mundur Bayindir dengan tubuh belakangnya. Sumber : Reuters/Jason Cairnduff

'Buldozer' Arsenal dan Keterbatasan Aturan untuk Kiper

Beberapa jam setelah kontroversi di London, kita beralih ke Old Trafford, di mana drama yang tak kalah menarik terjadi. 

Pada menit yang sama, menit ke-13, Arsenal mendapatkan sepak pojok. Di bawah asuhan Mikel Arteta, The Gunners telah lama dikenal sebagai "raja" bola mati, berkat sentuhan pelatih khusus set piece, Nicolas Jover.

Kali ini, Riccardo Calafiori sukses mencatatkan namanya di papan skor dengan sundulan mudah di tiang jauh. 

Namun, resep gol ini bukan pada kecerdikan Calafiori, melainkan pada 'trik' yang dilakukan secara licik oleh William Saliba. 

Saliba diplot sebagai "buldozer" untuk mengganggu kiper MU, Altay Bayindir, dengan tubuh bagian belakangnya. Alhasil, Bayindir gagal menepis bola dengan sempurna dan bola tinggal disundul dengan mudah oleh Calafiori.

Bayindir dan beberapa pemain MU terlihat mengangkat tangan, meminta pelanggaran. Namun, wasit Simon Hooper tak bergeming, dan tidak ada panggilan dari VAR. 

Gol Calafiori disahkan, dan itu menjadi satu-satunya gol yang tercipta di "Theatre of Dreams" malam itu.

Jika mengacu pada peraturan IFAB saat ini, memang aksi Saliba bisa dikategorikan bukan pelanggaran karena Bayindir belum menguasai bola dengan tangannya. 

Keistimewaan perlindungan ekstra diberikan kepada kiper apabila ia sudah berhasil menangkap bola dengan kedua tangan. 

Jelas bahwa Arsenal paham betul akan celah ini, sehingga mereka selalu menempatkan satu pemain yang bertugas menjadi "buldozer" untuk mendorong kiper lawan. 

Mengapa ini mungkin? Karena tendangan sudut yang segaris dengan garis gawang tidak memiliki risiko offside, berbeda dengan tendangan bebas.

Pihak lain mungkin bisa membahas mengapai Mathijs de Ligt atau Bayindir sendiri tidak mendorong balik Saliba? Jika hal ini dilakukan dan Saliba terjatuh, apa resiko tidak tambah besar dengan diberikanya penalti?

Sebuah buah simalakama yang sudah disajikan Arsenal, terutama oleh Mikel Arteta dan Nicolas Jover 

Mengapa Kiper Tidak Diberikan Hak Seperti 'Pagar Betis'

Dua insiden ini memiliki benang merah yang sangat jelas: keduanya adalah upaya tim penyerang untuk "membongkar" sistem pertahanan yang dibuat untuk menjaga area vital. 

Pagar betis dibuat untuk melindungi gawang dari tendangan bebas, dan aturan menetapkan pemain lawan tidak boleh berada kurang dari satu meter untuk membongkarnya. 

Logika ini seharusnya juga berlaku untuk kiper di dalam kotak penalti pada momen sepak pojok.

Kiper adalah "pagar betis" bergerak terakhir. Ia adalah penjaga gawang yang tugasnya adalah mengamankan area. 

Hipotesanya jelas, bahwa kiper tim yang bertahan seharusnya memiliki hak lebih untuk melindungi areanya, sama seperti pagar betis yang dibentuk untuk melindungi arah tembakan. 

Aturan yang belum jelas ini akan membuat Arsenal dan banyak tim lain akan terus memanfaatkan celah ini, apalagi jika kiper lawan memiliki postur tidak terlalu besar seperti Altay Bayindir.

Jika sebuah dorongan kecil saja bisa menganulir gol tendangan bebas di Chelsea, seharusnya dorongan besar yang membuat kiper tidak bisa mengamankan bola juga harus dianggap pelanggaran. 

Ini bukan hanya masalah interpretasi aturan, tetapi juga masalah keadilan dalam permainan. Jika kita ingin menjaga integritas sepak bola, perlindungan untuk kiper dan pagar betis harus diperlakukan sama. 

Jika tidak, "buldozer" dan manuver licik akan menjadi senjata laten dalam pertempuran taktis di Premier League, dan itu bukanlah hal yang diinginkan oleh para penggemar sejati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun