Mohon tunggu...
Greg Satria
Greg Satria Mohon Tunggu... FOOTBALL ENTHUSIASTS

Just Persistence

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Masih Sempurna usai Tundukkan Andorra, Thomas Tuchel Tak Ingin Timnas Inggris Bermain Api

8 Juni 2025   08:31 Diperbarui: 8 Juni 2025   08:31 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi Harry Kane di laga Andorra vs Inggris (7/6/25). Sumber: AFP/MANAURE QUINTERO via kompas.com

Kompasiana - Minggu (8/6/2025) dini hari WIB tadi, sebuah "kemenangan" dicatatkan oleh Timnas Inggris. Kata "kemenangan" saya beri tanda kutip, sebab apa yang terjadi di Estadi RCDE, Catalan, lebih mirip rutinitas administratif ketimbang sebuah pernyataan superioritas. 

Gol semata wayang Harry Kane di menit ke-50 sudah cukup untuk membukukan kemenangan ketiga Thomas Tuchel bersama The Three Lions. Sempurna, bakan tanpa kebobolan.

Skor tipis 1-0 atas Andorra, tim yang notabene bercokol di peringkat 173 dunia (ya, bahkan di bawah Timnas Indonesia) jelas bukan raihan yang bisa dibanggakan.
Tuchel, dengan gaya pragmatisnya yang khas, tampaknya tak bisa mencerna performa yang ia saksikan. 

Alih-alih merayakan kesempurnaan rekornya, manajer asal Jerman itu justru melontarkan kritik pedas. 

"Aku tidak suka kurangnya urgensi yang ditampilkan dan itu tidak sesuai dengan kesempatan ini -- ini tetap laga kualifikasi Piala Dunia," ujarnya geram, seperti dikutip dari The Guardian. 

"Kami akan beri tahu mereka apa yang kami inginkan. Aku rasa kami kurang serius dan kurang menunjukkan urgensi yang dibutuhkan di laga seperti ini. Aku rasa kami bermain-main dengan api. Aku tidak suka sikap di akhir laga. Bahasa tubuhnya pun tidak cocok dengan pentingnya pertandingan ini."

Pernyataan Tuchel ini bukan sekadar luapan emosi sesaat. Ini adalah sebuah alarm. 

Di bawah rezimnya, Inggris memang masih sempurna, mengoleksi sembilan poin dari tiga laga kualifikasi Piala Dunia 2026. Tapi, kemenangan melawan tim "kurcaci" seperti Andorra, yang hanya bisa ditekuk dengan satu gol dan tanpa dominasi performa yang berarti, adalah sinyal bahaya yang nyata. 

Ibarat sebuah kapal yang baru saja berlayar, Tuchel sudah melihat ada percikan api di ruang mesin, meski perjalanan baru dimulai. 

Kekhawatiran ini sah, bahkan perlu diapresiasi. Sebab, di level kompetisi tertinggi, mentalitas "cukup menang" melawan tim lemah seringkali menjadi batu sandungan utama.

Kemenangan yang Minim Substansi di RCDE Stadium

Apa yang disajikan di RCDE Stadium sejatinya adalah sebuah teater satu babak dengan skrip yang monoton. 

Andorra, seperti yang sudah bisa diprediksi, bermain ultra-defensif. Mereka menumpuk pemain di belakang, memblokir setiap celah, dan nyaris tidak menunjukkan niat untuk keluar dari sarangnya. 

Hasilnya? Inggris, meski mencatatkan dominasi penguasaan bola hingga 83%, membukukan 20 tembakan dengan 10 tepat sasaran, kesulitan menemukan celah untuk menceploskan bola ke dalam gawang Iker Alvarez. 

Ini bukan soal statistik semata, ini soal kualitas penyerangan yang mandek.

Contoh paling nyata adalah peluang emas Harry Kane di menit ke-18. Sang kapten, yang dikenal sebagai predator kotak penalti, gagal mengkonversi bola di posisi strategis. Tembakannya melebar, sebuah anomali untuk pemain sekalibernya. 

Ini mengindikasikan bukan hanya soal keberuntungan, melainkan juga frustrasi yang mulai merayap di lini depan. 

Sepanjang babak pertama, tekanan memang terus dilancarkan, namun seperti menabrak tembok yang tak bergeming. Skor 0-0 saat turun minum adalah cerminan kegagalan Inggris untuk menerjemahkan dominasi statistika menjadi dominasi di papan skor.

Babak kedua baru berjalan lima menit, gol yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Harry Kane, dengan insting penyerangnya, berhasil memanfaatkan asis matang dari Noni Madueke untuk mengubah skor menjadi 1-0. 

Gol ini, yang seharusnya membuka keran gol lainnya, justru menjadi satu-satunya pembeda hingga peluit panjang dibunyikan. 

Peluang emas Eberechi Eze di menit ke-72, yang sundulannya berhasil dimentahkan kiper Andorra, adalah bukti lain bahwa Inggris masih kesulitan menambah gol di sisa waktu. 

Ini adalah kemenangan yang minim substansi, di mana satu gol melawan tim peringkat 173 dunia seharusnya tidak cukup untuk menggambarkan superioritas skuad yang dihuni bintang-bintang Premier League.

Kesempurnaan yang Belum Teruji dan Preferensi Taktik Tuchel

Secara hitungan matematis, hasil 1-0 ini memang tidak menjadi masalah. Inggris kini memuncaki klasemen Grup K dengan sembilan poin sempurna dari tiga pertandingan. 

Tuchel, dalam catatan pribadinya, masih belum ternoda. Tiga kemenangan beruntun, dengan skor 2-0 atas Albania dan 3-0 atas Latvia di dua laga sebelumnya, serta nirbobol di semua pertandingan, adalah pencapaian yang patut diacungi jempol. 

Namun, angka di atas kertas seringkali menipu jika tidak dibedah lebih dalam. Lawan-lawan yang dihadapi Inggris sejauh ini adalah tim-tim dengan peringkat jauh di bawah mereka.

Dalam hal preferensi taktik, Tuchel menunjukkan kecenderungan yang menarik, meski belum teruji sepenuhnya.

Pilihan bek tengahnya, Ezri Konsa yang selalu dimainkan di jantung pertahanan di depan Jordan Pickford, menunjukkan kepercayaan penuhnya. 

Konsa dipasangkan dengan Dan Burn (melawan Albania dan Andorra) dan Marc Guehi (melawan Latvia). Ini adalah eksperimen yang cukup berani, mengingat ketiganya bukanlah pilihan utama yang "glamour" di lini pertahanan Inggris.

Di posisi fullback, Tuchel masih sering melakukan bongkar pasang. Menempatkan Reece James, anak emasnya di Chelsea, di sisi kiri adalah sebuah eksperimen pria 51 tahun ini. Ditambah, menempatkan Curtis Jones di sisi kanan pertahanan.

Perubahan ini mungkin dimaklumi sebagai upaya Tuchel untuk mendominasi lini tengah, dengan kedua pemain ini bergantian melakukan inverted play ke area sentral. Namun, ini juga menunjukkan bahwa Tuchel masih mencari formula yang pas, terutama dalam menghadapi tim yang mampu menekan balik. 

Kesimpulannya, preferensi taktik Thomas Tuchel memang belum teruji melawan tim kuat yang mampu mendominasi penguasaan bola dan memberikan ancaman serius. Kemenangan atas tim-tim "kurcaci" ini belum bisa menjadi barometer utama.

Timnas Inggris: Bermain-main dengan Api Mentalitas

Istilah Thomas Tuchel bahwa timnya "bermain-main dengan api" adalah sebuah frasa yang sangat tepat dan perlu digarisbawahi tebal. 

Di atas kertas, tidak ada yang bisa meragukan kualitas individu para pemain Three Lions. 

Mereka adalah dua kali finalis Euro dan semifinalis Piala Dunia. Skuad mereka penuh dengan bintang-bintang yang bermain di liga-liga top Eropa. Jadi, jika kualitas teknis bukan masalahnya, lalu apa yang kurang? 

Jawabannya adalah mentalitas. Inilah yang ingin diubah secara fundamental oleh Tuchel.

Menghadapi partai "mudah" seperti melawan Andorra ini, seharusnya para pemain Inggris tidak menunjukkan sikap malas atau berpuas diri hanya dengan satu gol. 

Tim berkarakter juara, seperti Argentina asuhan Lionel Scaloni atau Spanyol di era keemasannya, kerap menunjukkan mentalitas "haus gol" di laga-laga yang seharusnya mudah. 

Mereka tidak hanya puas dengan kemenangan tipis, tetapi terus menekan, mencari celah, dan mencetak gol sebanyak mungkin, seolah setiap pertandingan adalah final.

Winning mentality tidak hanya terbangun dari kemenangan itu sendiri, melainkan dari cara kemenangan itu diraih. Ia harus dibangun secara konsisten dan simultan di sepanjang laga, agar tercipta sebuah kultur kemenangan yang mendarah daging. 

Kultur inilah yang pada akhirnya akan berimbas pada capaian trofi, bukan sekadar lolos kualifikasi.

Laga berikutnya bagi Timnas Inggris adalah pertandingan persahabatan melawan Senegal pada Rabu (11/6/2025) pekan depan. 

Ini adalah kesempatan lain bagi Tuchel untuk menguji mentalitas anak asuhnya. 

Apakah The Three Lions akan berhenti bermain-main dengan api? 

Ataukah mereka akan terus memperlihatkan sikap pragmatis yang bisa menjadi bumerang ketika menghadapi lawan yang sepadan? 

Jika Tuchel gagal menanamkan urgensi dan mentalitas "pembunuh" sejak dini, maka kisah sempurna ini bisa jadi hanya ilusi belaka di Piala Dunia 2026 nanti.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun