Apa yang disajikan di RCDE Stadium sejatinya adalah sebuah teater satu babak dengan skrip yang monoton.Â
Andorra, seperti yang sudah bisa diprediksi, bermain ultra-defensif. Mereka menumpuk pemain di belakang, memblokir setiap celah, dan nyaris tidak menunjukkan niat untuk keluar dari sarangnya.Â
Hasilnya? Inggris, meski mencatatkan dominasi penguasaan bola hingga 83%, membukukan 20 tembakan dengan 10 tepat sasaran, kesulitan menemukan celah untuk menceploskan bola ke dalam gawang Iker Alvarez.Â
Ini bukan soal statistik semata, ini soal kualitas penyerangan yang mandek.
Contoh paling nyata adalah peluang emas Harry Kane di menit ke-18. Sang kapten, yang dikenal sebagai predator kotak penalti, gagal mengkonversi bola di posisi strategis. Tembakannya melebar, sebuah anomali untuk pemain sekalibernya.Â
Ini mengindikasikan bukan hanya soal keberuntungan, melainkan juga frustrasi yang mulai merayap di lini depan.Â
Sepanjang babak pertama, tekanan memang terus dilancarkan, namun seperti menabrak tembok yang tak bergeming. Skor 0-0 saat turun minum adalah cerminan kegagalan Inggris untuk menerjemahkan dominasi statistika menjadi dominasi di papan skor.
Babak kedua baru berjalan lima menit, gol yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Harry Kane, dengan insting penyerangnya, berhasil memanfaatkan asis matang dari Noni Madueke untuk mengubah skor menjadi 1-0.Â
Gol ini, yang seharusnya membuka keran gol lainnya, justru menjadi satu-satunya pembeda hingga peluit panjang dibunyikan.Â
Peluang emas Eberechi Eze di menit ke-72, yang sundulannya berhasil dimentahkan kiper Andorra, adalah bukti lain bahwa Inggris masih kesulitan menambah gol di sisa waktu.Â
Ini adalah kemenangan yang minim substansi, di mana satu gol melawan tim peringkat 173 dunia seharusnya tidak cukup untuk menggambarkan superioritas skuad yang dihuni bintang-bintang Premier League.