Kompasiana - Selamat datang di momen krusial dalam hidup saya: gaji pertama.Â
Bagi sebagian besar orang, ini adalah simbol kemandirian, gerbang menuju kebebasan finansial, atau menjadi ajang untuk memberikannya kepada orang tua. Â
Narasi umum biasanya tentang memulai menabung, investasi, dana darurat, atau membahagiakan orang tua.Â
Semua itu memang benar dan bijak. Tapi, izinkan saya membisikkan sesuatu yang mungkin terdengar kontroversial: gaji pertama juga bisa menjadi alat paling ampuh untuk menyembuhkan luka batin, terutama luka dari inner child yang mungkin terabaikan selama bertahun-tahun.
Kita semua membawa serta bagian dari masa lalu kita, termasuk impian-impian yang tak terpenuhi, keinginan-keinginan yang terpendam, dan terkadang, sedikit "dendam" atas pilihan yang bukan milik kita.Â
Di tengah hiruk pikuk nasihat finansial yang seragam, ada satu hal yang sering terlupakan: kebahagiaan intrinsik.Â
Bukankah inti dari mencari nafkah adalah untuk mencapai kebahagiaan? Jika ya, mengapa kita begitu sering mengabaikan panggilan jiwa yang paling murni, yang berasal dari masa kecil kita?
Saya tidak sedang menggurui tentang teori ekonomi makro atau rumus investasi yang rumit, karena itu bagiannya Mas Efwe. hehehehe.Â
Kali ini, mari kita bicara tentang pembebasan. Pembebasan dari ekspektasi orang lain, pembebasan dari penyesalan masa lalu, dan pembebasan untuk menjadi diri sendiri, seutuhnya.Â
Gaji pertama bukan hanya tentang apa yang bisa Anda beli, tapi tentang siapa Anda ingin menjadi, dan siapa yang ingin Anda bahagiakan.Â