Personal branding pada dasarnya adalah sebuah proses yang bertujuan untuk membangun reputasi positif dan kredibel seputar keterampilan, keahlian, atau nilai-nilai yang kita miliki. Personal branding adalah tentang bagaimana kita menetapkan diri kita sendiri sebagai orang yang memiliki otoritas di bidang atau ceruk keahlian tertentu.Â
Sebaliknya, flexing bertumbuh dengan cara memamerkan harta benda, prestasi, atau gaya hidup sebagai hasil yang terus menerus ditunjukkan terutama untuk mendapatkan pengakuan dan kekaguman sosial. Hal ini sering kali berakar pada keinginan untuk dianggap lebih unggul yang pada akhirnya membuat iri orang lain.
Dalam hal tujuan, personal branding justru berupaya untuk menambah nilai pada kehidupan audiens yang disasar dengan menawarkan informasi, inspirasi, atau solusi yang bermanfaat.Â
Hal-hal semacam ini dari sisi audiens tentunya akan mendorong pembelajaran, pertumbuhan, dan hingga kepada pembangunan komunitas yang berakar dari rasa kedekatan atas hubungan baik dengan influencer.Â
Sebaliknya, sikap flexing sering kali menimbulkan perbandingan dan rasa iri, sikap acuh tak acuh pada perasaan yang dimiliki audiens, yang berpotensi menumbuhkan sikap negatif dan ketidakpuasan di kalangan audiens.Â
Audiens akan merasa ada penghalang yang tak terjangkau antara dia sendiri dan influencer yang ia ikuti kontennya, serta komunikasi yang berjalan cenderung satu arah saja.Â
2. Orisinalitas: Perang Konten Asli vs Palsu
Personal branding yang autentik menampilkan jati diri dan pencapaian kita secara apa adanya. Seluruh konten-konten yang dibangun menyoroti perjalanan, perjuangan, suka duka, dan pembelajaran hidup yang kita terima.Â
Mereka yang berfokus pada konten personal branding akan lebih fokus berkisar pada berbagi wawasan, keahlian, dan pengalaman berharga yang mereka terima. Ini dapat mencakup postingan blog, tutorial, pemikiran akan nilai-nilai kepemimpinan, maupun interaksi yang menarik terutama dari sisi audiens. Semuanya itu tentunya untuk membangun kepercayaan dan hubungan dengan audiens yang disasar dalam konten.Â
Sebaliknya, flexing cenderung melibatkan hal yang berlebihan, menyimpang, atau bahkan palsu untuk menciptakan ilusi akan adanya kemewahan atau kesuksesan tanpa memperlihatkan di balik layar.Â