Salah satu kekayaan budaya yang kita kenal di Indonesia adalah Wayang. Pertunjukkan wayang sendiri telah diakui menjadi harta warisan tak benda menurut UNESCO. Suatu pertunjukkan wayang dapat dianggap sebagai hiburan namun juga sekaligus sebuah pendidikan moral maupun agama yang disebarkan lewat jalan ceritanya.
Jalan cerita atau disebut juga lakon pada dunia pewayangan klasik banyak mengambil dari pakem Mahabharata atau Ramayana. Selain itu, terdapat pula sumber cerita lain seperti pada jenis wayang Beber, wayang klitik, dan wayang Gedog yang mengambil kisah cerita lakon Panji atau wayang Menak yang mengambil sumber cerita dari Kitab Menak.Â
Meskipun terdapat pakem cerita dari kitab Mahabharata maupun Ramayana, hal yang menarik dari perkembangan dunia pewayangan adalah bagaimana dari zaman leluhur kita sendiri lakon-lakon tersebut dikembangkan sesuai kreativitas hingga membentuk cerita-cerita tambahan yang disebut lakon-lakon carangan.
Lakon carangan dalam wayang kulit sendiri menurut Wayang Indonesia adalah adalah lakon wayang yang keluar dari jalur pakem (standar) kisah Mahabarata atau Ramayana. Namun, para pemeran dan tempat-tempat dalam cerita carangan itu tetap menggunakan tokoh-tokoh Wayang Purwa yang berdasarkan Mahabarata atau Ramayana seperti biasanya. Lakon carangan sendiri berdasarkan kategori jenis ceritanya terbagi dalam tiga jenis yakni:Â
1. Lakon Carangan Kadapur dimana sebuah lakon carangan masih memiliki hubungan dengan lakon pakem. Dapat dikatakan lakon Carangan Kadapur ini adalah lakon yang mengisi "plothole" dalam cerita Mahabarata dan Ramayana.Â
Contoh lakon carangan kadapur adalah Jaladara Rabi atau menikahnya Kakrasana (Baladewa) dengan dewi Erawati. Contoh lain adalah Wirata Parwa yang menceritakan petualangan Pandawa di negara Wirata setelah pembuangan selama dua belas tahun.
2. Lakon Carangan merupakan lakon yang tidak memiliki hubungan dengan cerita lakon pakem. Jenis lakon carangan ini sendiri masih dapat terbagi dalam lakon wahyu (seperti Wahyu Wahyu Pancadarma; Wahyu Tri Marga Jaya, Wahyu Widayat Pitu, Wahyu Triwibawa dan sebagainya), lakon lahiran (seperti Lahire Petruk, Lahire Wisanggeni, Lahire Semar), lakon malihan atau lakon dimana terdapat tokoh yang menyamar sebagai tokoh lain (seperti Jayeng Katong, Suryandadari, Talirasa-Rasatali), lakon Lucon (seperti Bagong dadi Ratu, Gareng dadi Ratu, Petruk Ilang Petele), hingga lakon wejangan (seperti Arjuna Pitu, Arjuna Pingit, Mayangkara, Semar Maneges).
3. Lakon Sempalan merupakan lakon yang mengambil tokoh utamanya sama dengan lakon pokok, tetapi temanya dirubah. Contohnya lakon Pregiwa Pregiwati yang menceritakan Endang Pregiwa dan Pregiwati mencari ayahnya dan pertemuan mereka dengan Gatotkaca. Contoh lain adalah Dewa Ruci yang menceritakan pertemuan Bima dan Dewa Ruci atau Bima mencari Tirta Pawitra (air kehidupan).
Beberapa lakon carangan sangat erat dengan bagaimana upaya para pujangga Jawa mengkreasikan bagaimana cerita pewayangan untuk dicoba dikembangan berbeda dengan cerita Mahabarata atau Ramayana. Ini terlihat dari lakon-lakon asal usul dewa-dewa dalam pewayangan maupun eksistensi tokoh-tokoh kreasi lokal seperti Antareja, Antasena, Gandamana, hingga para Punakawan. Pengembangan cerita ini sendiri telah dapat dilacak jejaknya sejak zaman pra-Islam melalui kesusastraan kuno berupa kakawin seperti Bharatayudha dan Arjuna Wiwaha.
Perkembangan lakon pada era-era Mataram Islam sendiri menurut sejarah terbagi dalam lakon-lakon Kasepuhan yang dipopulerkan abdi dalem kraton dalang Kyai Panjang Mas (Ki Mulya Lebda Jiwa) dengan ciri khas memakai dagelan Gareng dan Petruk yang berkembang di daerah Yogyakarta ke barat (Kedu, Banyumas, hingga batas Cirebon), serta lakon-lakon Kanoman yang dipopulerkan oleh istri Kyai Panjang Mas yakni Nyai Panjang Mas yang berciri khas memakai dagelan Bagong yang berkembang di daerah Pacitan hingga ke timur Pasuruan.Â
Jejak-jejak pembedaan ini terasa hingga saat ini terutama dalam pewayangan gaya Jawatimuran dimana tidak terdapat tokoh Gareng dan Petruk dalam punakawan.
Selain itu, dalam perkembangannya, terdapat buku-buku yang menjadi kompilasi jalan cerita maupun mengumpulkan lakon-lakon yang beredar seperti Serat Pustaka Raja Purwa yang ditulis oleh Rangga Warsita yang akhirnya menjadi acuan pedalangan di Surakarta. Di Yogyakarta sendiri kompilasi lakon-lakon dikenal dalam serat Purwakandha yang berasal dari era Hamengkubuana V.
 Lakon-lakon carangan dalam lingkup keraton pecahan Mataram sendiri diketahui dapat pula lahir dalam konteks permintaan tertentu dari raja seperti yang dituturkan oleh Ki Cermo Sutejo dalam DG Channel mengenai asal-usul lakon Semar Boyong yang meminta lakon yang menggabungkan tokoh-tokoh Mahabarata dan Ramayana. Â
Di samping itu, gaya pedalangan lokal yang memiliki kehadiran tokoh-tokoh tertentu yang hanya dimiliki daerah tersebut seperti Bagal Buntung, Curis, Bitarota, Ceblog, Dawal dalam pewayangan Gaya Cirebon, Srenggini dan Pancasena dalam pewayangan Gaya Banyumas, Berjongganom dalam pewayangan gaya Kedu Wonosobo, hingga tokoh Besut dalam pewayangan Jawatimuran turut memperkaya lahirnya lakon-lakon Carangan lokal yang hanya dimiliki daerah tertentu.
Sebuah lakon wayang dapat lahir melalui konteks politik, upaya para pujangga merekonstruksi dunia maupun silsilah dalam pewayangan maupun adanya petuah dan hiburan lokal yang dinikmati di daerah tertentu. Khazanah budaya semacam ini merupakan suatu keindahan tersendiri yang dapat diwariskan baik melalui pelajaran maupun pertunjukkan untuk memperkaya pengetahuan kita di era modern ini tentang kemegahan leluhur kita dalam menyusun tradisi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI