Dalam lanskap politik Indonesia, public speaking pejabat publik sering menjadi pedang bermata dua.
Di satu sisi, biisa membangun kepercayaan, namun di sisi lain bisa pula memicu kontroversi apabila kata-kata liar alias omon omon tak terkontrol tidak disertai aksi nyata.
Fenomena “obral kata, janji manis, respons spontan, lalu klarifikasi karena tekanan publik" kian sering muncul.
Padahal, yang lebih diperlukan masyarakat adalah kerja konsisten dan hasil yang bisa dirasakan, bukan sekadar kata-kata spektakuler.
Cepat Melontarkan Pernyataan, Lambat Beraksi
Seringkali pejabat berbicara berdasarkan intuisi atau untuk merespons sorotan publik.
Contoh nyata terjadi baru-baru ini ketika eks Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer (Noel) menanggapi tagar #KaburAjaDulu dengan pernyataan yang dianggap provokatif.
“Mau kabur, kabur sajalah. Kalau perlu jangan balik lagi”. Pernyataan ini bisa dilihat lagi di beberapa media seperti suara.com, Kompas Video atau Bisnis.com.
Kata-kata tersebut langsung memicu reaksi keras dari masyarakat dan beberapa kalangan pengamat yang menilai tidak pantas untuk pejabat, terutama yang diharapkan memberi harapan dan solusi, bukan melemahkan semangat warga.
Setelah gelombang kritik, Eks Wamenaker Noel kemudian mencoba mengklarifikasi bahwa pernyataannya “tidak mewakili Pemerintah."
Ia berdalih, sedang fokus bekerja dan tidak mengurusi hashtag. Ini adalah pola yang lazim digunakan, kontroversial dulu lalu klarifikasi agar dampak publik mereda.