Mohon tunggu...
Muhammad Irfan Khadafi
Muhammad Irfan Khadafi Mohon Tunggu... -

nama : Muhammad irfan khadafi Sekolah : Sma Smart 01 bogor

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dunia di Bawah Payung

16 Februari 2015   19:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:05 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saya menatap jauh ke dalam matanya.

Seperti dilembutkan, Ia kembali menekuk lututnya, membenamkan dagu ke pangkuannya, melempar pandangannya entah kemana, dan melanjutkan cerita.

Pagi hari setelah ia melihat tarian hantu-hantu laut itu, ia terserang sakit mata akut. Kornea matanya dilapisi kabut putih, seperti kotoran mata berwarna kuning yang setiap jam menumpuk-numpuk dan sekali-kali meleleh kemudian membeku di sudut-sudut matanya. Teman-temannya merasa jijik dan mau muntah, walaupun itu tidak diperlihatkan di depannya.

Tiga minggu kemudian, penyakit matanya sembuh tiba-tiba. Entah obat mana yang akhirnya mangkus dari sekian banyak dokter, mantri, dan dukun kampung yang ia kunjungi. Ia kembali hidup normal. Hanya saja, tidak ada lagi orang-orang yang mau dekat dengannya. Teman tak ada. Bujang lapuk pula. Siapa yang mau bersuamikan lelaki dengan kepala dan penghasilan pas-pasan? Yang mau bekerja apa saja, dan mau digaji berapa saja? Kini, pekerjaan tak ada pula. Ia sungguh merasa kesepian, sebelum akhirnya menjadi gila, kata orang-orang.

Jika saja saya perempuan, saya akan ikut terharu dan menangis terisak bersamanya, memeluk bahunya, dan mungkin bersedia menemani hidupnya yang terasing itu.

Tapi, akhirnya saya tidak melakukan apa-apa. Ketika saya sudah tak mendengar lagi Ia berbicara, saya hanya menatapnya dengan rasa kasihan bercampur penasaran.

Sembuhlah segera,” seru saya dalam kepala sembari menjauh darinya yang sudah mematung.

***

Suatu kali, untuk membuktikan ceritanya, saya datang sendiri ke tepi pantai itu tengah malam buta. Saya duduk di tepi bandul; pembatas antara jalan beraspal dengan pasir tepi pantai, dengan sejinjing kopi dalam termos kecil, dan beberapa penganan ringan.

Belum cukup satu jam rasanya, saya melihat ombak besar mengejar. Saya terkejut, gelapan berlari, dan seperti terbangun dari sesuatu. Tubuh saya kuyup di atas pasir di bibir pantai. Saya kedinginan dan ternyata sudah tak malam lagi.

Sial. Kenapa saya bisa tertidur di sini?” Umpat saya sambil membersihkan pasir-pasir yang menempel di pakaian, muka dan bagian tubuh lain. Termos kopi hampir sampai di geligi ombak kecil, antara mau hanyut dan tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun