Mohon tunggu...
Gitakara Ardhytama
Gitakara Ardhytama Mohon Tunggu... Penulis

Penulis buku Pejuang Kenangan (2017), Hipotimia (2021) dan Ruang Ambivalensi (2025). Aktif menulis artikel dan essai di berbagai platform digital dengan tema-tema psikologi, opini, politik dan kontemplasi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Sebuah Pelajaran di Balik Kepergian Tanpa Perpisahan

8 Oktober 2025   05:47 Diperbarui: 8 Oktober 2025   20:27 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Seorang Anak Kecil Sedang Duduk Sendirian. (Sumber Foto: pexels.com/JeswinThomas)

Seiring waktu dan kesibukan, kita mungkin tak lagi rajin bertegur sapa.

Tapi sebagian dari mereka tetap hidup di kepala kita, dalam potongan-potongan kenangan kecil; mungkin dalam bentuk ingatan akan tawa khas mereka, lagu yang dulu mereka sering senandungkan, atau tempat-tempat yang dulu sering dia kunjungi. Dari ingatan-ingatan kecil itulah kita menghadirkan mereka selamanya dalam ingatan kita.

Kepergian tanpa perpisahan juga mengajarkan kita untuk bisa memutuskan kapan waktunya legowo, tidak lagi berharap dan tau kapan harus berhenti menunggu.

Tidak semua kisah akan diakhiri dengan tanda titik; ada yang akhirnya selesai, tapi dengan jarak jeda yang panjang. Dan dalam jeda itu, kita menemukan sesuatu yang lebih penting daripada sebuah kepastian, yaitu ketenangan.

Merujuk pada teori ‘lima tahapan berduka’ yang dikemukakan seorang psikolog, Elisabeth Kübler-Ross, ia bilang manusia pasti akan melewati beberapa tahapan saat menghadapi kehilangan: penyangkalan, marah, tawar-menawar, sedih, lalu penerimaan. Tapi sayangnya, efek kehilangan tanpa perpisahan sering kali melompati semua tahapan-tahapan itu.

Kita tidak lagi punya waktu untuk menyangkal atau menawar; kita hanya tiba-tiba sadar bahwa sesuatu yang kita selalu temui sekarang sudah tidak ada lagi.

Dan karena itu, proses penyembuhannya pun sunyi dan lebih banyak berlangsung di kepala daripada di pelukan. Barangkali di situlah seni dari bertumbuh, belajar berdamai dengan yang tak sempat dijelaskan.

Kita tak lagi berusaha memanggil mereka yang sudah tak ingin tinggal, kita tak lagi menulis pesan yang tak akan dibalas oleh mereka. Kita belajar bahwa menghormati keheningan juga bentuk cinta yang paling dewasa.

Karena tak semua hubungan harus diakhiri dengan kalimat terakhir; beberapa cukup berhenti di kalimat yang masih tergantung. Seperti sebuah lagu yang vokalisnya berhenti tiba-tiba, tapi melodinya masih terasa.

Penutup

Yang menariknya lagi, kepergian tanpa perpisahan mengajarkan kita betapa berharganya sebuah “kata-kata terakhir”. Betapa seharusnya kita tidak menunda mengucapkan terima kasih, maaf, atau bahkan selamat tinggal. Karena kita tak pernah tahu kapan momen itu menjadi kesempatan terakhir yang takkan pernah terulang lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun