Pikirnya agar tampak heroik? Tidak, bapak ibu. Justru mereka tanpa sadar sedang memelihara bom waktu dalam batin masyarakat saat ini, yang jika kemudian menemukan pemicunya bisa saja terjadi anarkisme seperti akhir Agustus 2025 yang lalu. Tampaknya mereka tidak pernah belajar dari kejadian itu.
Dalam teori ekonomi, tindakan nirempati pejabat-pejabat tadi bisa disebut sebagai bentuk Moral Inflation. Moral Inflation dalam teori ekonomi adalah ketika rasa syukur coba untuk terus ditingkatkan sebagai kompensasi psikologis atas stagnasi ekonomi yang terjadi.
Pada titik ini, negara boleh-boleh saja mengklaim berhasil menjaga angka inflasi pada tingkat yang terkendali, tapi sesungguhnya mereka gagal dalam menjaga keseimbangan batin warganya.
Politik Dimaknai Sebagai Seni Menata Persepsi, Bukan Menata Hidup
Politik di negeri ini jika kita perhatikan semakin menyerupai kegiatan branding exercise. Pemerintah tidak lagi menjadi pelayan publik, tapi layaknya seorang influencer besar yang selalu sibuk mengelola citranya di depan masyarakat dan tamu-tamunya.
Ketika harga-harga naik, mereka buat kampanye-kampanye bernada optimisme. Ketika hutang membengkak, mereka ubah diksinya menjadi "sebuah kebijakan fiskal yang berani."
Semua dikemas rapi dengan pilihan kata bernuansa positif tapi semu, musik yang lembut, senyum sumringah pejabat-pejabatnya, dan slogan-slogan nasionalisme yang hangat di telinga tapi dingin di perut rakyat.
Lalu jika rakyat sudah sadar sedang dibohongi, kenapa mereka diam? Normalisasi seperti ini tidak terjadi karena masyarakatnya bodoh, tetapi karena sistem komunikasi publik yang ada saat ini seolah dikondisikan untuk terus-menerus menata persepsi masyarakat agar yang salah tampak wajar.
Dan begitu nilai sosial baru yang mereka tanamkan ini sukses menjadi sebuah kesepakatan baru di publik, maka kemudian yang tampak aneh justru adalah mereka yang masih menjaga nalarnya dan berani mempertanyakan ketidakadilan di sekitarnya.
Ada satu bentuk ketimpangan baru yang jarang kita sadari tapi sudah sering kita lihat sehari-hari: ketimpangan narasi. Pihak yang satu punya akses seluas-luasnya ke media dan bebas melakukan framing dan propaganda, sedangkan yang lain hanya punya doa dan kesabaran.
Ketika pemerintah gagal menstabilkan ekonomi, mereka akan "menstabilkan moral" rakyat lewat seruan-seruan religius, konten-konten inspiratif, dan jargon-jargon solidaritas palsu.
Padahal, kesabaran mayoritas rakyat bukanlah seperti sumber daya yang tak terbatas.