Di negeri tercinta kita ini, ada sebuah anomali yang unik sekaligus lucu. Harga-harga barang di sini bisa naik lebih cepat daripada harapan kita. Tapi lucunya, alih-alih ditawarkan kebijakan yang bisa menyesuaikan gap antara upah dan inflasi harga barang oleh pejabatnya, kita malah diminta untuk TETAP BERSYUKUR dan TABAH. Ya, Betul sekali. Kita diminta untuk tetap bersyukur oleh pejabat-pejabat yang harusnya mengusahakan kesejahteraan kita!
Setiap kali masyarakat mengeluhkan soal harga beras, listrik, atau biaya sekolah yang makin tahun semakin mahal, narasi yang muncul bukannya sebuah solusi, tapi malah dakwah moral: "jangan banyak protes, nanti rezekinya seret."
Kita hidup di zaman dimana ketidakwajaran menjadi hal yang wajar, dan kewajaran dianggap sebagai sebuah keluhan. Ketika besaran gaji hanya naik 2-3 persen dan itupun hanya setahun sekali, tapi tagihan dan harga-harga bahan pokok terus naik setiap bulannya. Pada titik ini biasanya pemerintah pasti menjadikan situasi global yang masih tidak stabil karena covid dan perang sebagai alasannya. Ketika daya beli masyarakat terus merosot, pengusaha-pengusaha pun pasti akan bilang pasar sedang dalam masa sulit karena mereka melihat laba bersih perusahaan mereka berkurang jauh.
Semua pihak seolah punya alasan untuk berkelit, tapi tak ada yang pernah mau mengambil tanggung jawabnya. Di tengah keadaan yang semakin absurd ini, rakyat kecil hanya ditenangkan dengan meminta kita selalu kuat dan tabah. Mereka seolah menganggap bahwa tabah dan bertahan adalah sebuah prestasi moral, bukan keterpaksaan yang struktural.
Narasi Bersyukur yang Disalahgunakan
Bersyukur memang penting. Tapi ketika ia dijadikan tameng untuk menutupi kegagalan akan sebuah kebijakan publik, maka maknanya akan berubah menjadi alat kontrol sosial. Kita seolah sedang diarahkan untuk merasa berdosa saat kita mengungkapkan perasaan ingin hidup lebih layak. Seolah-olah menginginkan gaji dan upah yang cukup dan layak itu adalah sebuah ketamakan, bukan sebuah hal yang wajar.
Narasi "terus bersyukur walau dalam himpitan" dijadikan sebagai alat politik halus untuk menjaga stabilitas sosial, di tengah masyarakat yang sedang memupuk rasa frustasi di dalam dadanya. Ketika masyarakat mulai resah, media-media pun seolah kompak menghadirkan berita-berita bertema inspiratif tentang orang-orang miskin yang tetap bisa tersenyum dalam keterbatasannya. Ketika rakyat mulai marah, muncul tokoh-tokoh yang selalu akan berkata bahwa kehidupan mereka di Indonesia ini jauh lebih nyaman dibandingkan dengan negara-negara lainnya di luar sana. Padahal, perbandingannya seringkali keliru. Tidak apple to apple.
Sebenarnya tidaklah perlu pejabat-pejabat itu dan media-media arahannya untuk membandingkan-bandingkan penderitaan kita dengan yang ada di negara lain hanya demi membenarkan sebuah ketimpangan dan menormalisasikan kekurangan di sini. Karena ketika aktivitas sesakral bersyukur dijadikan pembungkus akan ketidakadilan, maka kata-kata itu akan berhenti menjadi sebuah nilai spiritual dan malah akan berubah menjadi sebuah anestesi sosial. Rakyat kecil dibius dengan optimisme kosong, sementara para elitnya terus menumpuk privilege dan kekayaan.
Realitas Ekonomi dalam Angka-Angka Semu
Menurut data Badan Pusat Statistik, tingkat inflasi tahunan Indonesia pada Agustus 2025 tercatat di sekitar 3,1%. Angka ini sekilas memang menunjukkan bahwa inflasi kita dalam keadaan terkendali, tapi sayangnya fakta (yang menurut mereka) gemilang itu tidak mencerminkan kenyataan lapangan sama sekali. Harga beras premium saat ini rata-rata sudah menembus angka Rp18.000 per kilogram (saat tulisan ini dibuat), konon ini adalah rekor harga tertinggi dalam lima tahun terakhir ini. Sementara itu, upah minimum rata-rata nasional hanya naik sekitar 1,5--2% per tahun, atau jika dirata-rata hanya naik sekitar Rp. 100.000 dalam setahun. Dalam satu tahun, mohon diingat. Sungguh kenaikannya jauh di bawah laju kenaikan biaya hidup itu sendiri. Belum lagi biaya pendidikan anak, kesehatan, dan transportasi yang juga ikut terus merangkak naik setiap harinya.
Menurut survei Katadata Insight Center, lebih dari 60% rumah tangga kelas menengah bawah di Indonesia mengaku penghasilan bulanannya kini habis hanya untuk kebutuhan dasar. Tabungan? Hampir tidak ada. Miris!
Namun walaupun fakta sudah seterang benderang itu, narasi yang beredar tetap sama: "Tetap bersyukur, jangan iri, dan jangan baper." Lagi-lagi ketimpangan ekonomi dibungkus dengan moralitas; penderitaan diromantisasi tanpa henti. Pikirnya agar tampak heroik? Tidak, bapak ibu. Justru mereka tanpa sadar sedang memelihara bom waktu dalam batin masyarakat saat ini, yang jika kemudian menemukan pemicunya bisa saja terjadi anarkisme seperti akhir Agustus 2025 yang lalu. Tampaknya mereka tidak pernah belajar dari kejadian itu.
Dalam teori ekonomi, tindakan nirempati pejabat-pejabat tadi bisa disebut sebagai bentuk Moral Inflation. Moral Inflation dalam teori ekonomi adalah ketika rasa syukur coba untuk terus ditingkatkan sebagai kompensasi psikologis atas stagnasi ekonomi yang terjadi. Pada titik ini, negara boleh-boleh saja mengklaim berhasil menjaga angka inflasi pada tingkat yang terkendali, tapi sesungguhnya mereka gagal dalam menjaga keseimbangan batin warganya.
Politik Dimaknai Sebagai Seni Menata Persepsi, Bukan Menata Hidup
Politik di negeri ini jika kita perhatikan semakin menyerupai kegiatan branding exercise. Pemerintah tidak lagi menjadi pelayan publik, tapi layaknya seorang influencer besar yang selalu sibuk mengelola citranya di depan masyarakat dan tamu-tamunya. Ketika harga-harga naik, mereka buat kampanye-kampanye bernada optimisme. Ketika hutang membengkak, mereka ubah diksinya menjadi "sebuah kebijakan fiskal yang berani."
Semua dikemas rapi dengan pilihan kata bernuansa positif tapi semu, musik yang lembut, senyum sumringah pejabat-pejabatnya, dan slogan-slogan nasionalisme yang hangat di telinga tapi dingin di perut rakyat.
Lalu jika rakyat sudah sadar sedang dibohongi, kenapa mereka diam? Normalisasi seperti ini tidak terjadi karena masyarakatnya bodoh, tetapi karena sistem komunikasi publik yang ada saat ini seolah dikondisikan untuk terus-menerus menata persepsi masyarakat agar yang salah tampak wajar. Dan begitu nilai sosial baru yang mereka tanamkan ini sukses menjadi sebuah kesepakatan baru di publik, maka kemudian yang tampak aneh justru adalah mereka yang masih menjaga nalarnya dan berani mempertanyakan ketidakadilan di sekitarnya.
Ada satu bentuk ketimpangan baru yang jarang kita sadari tapi sudah sering kita lihat sehari-hari: ketimpangan narasi. Pihak yang satu punya akses seluas-luasnya ke media dan bebas melakukan framing dan propaganda, sedangkan yang lain hanya punya doa dan kesabaran. Ketika pemerintah gagal menstabilkan ekonomi, mereka akan "menstabilkan moral" rakyat lewat seruan-seruan religius, konten-konten inspiratif, dan jargon-jargon solidaritas palsu.
Padahal, kesabaran mayoritas rakyat bukanlah seperti sumber daya yang tak terbatas.
Ia bisa habis, dan ketika habis, yang lahir bukanlah sebuah revolusi, tapi apatisme. Orang-orang akan berhenti peduli, karena merasa semua keluhan tak akan mengubah apa-apa.
Dalam konteks ini, maka wajar jika banyak orang memilih diam, pura-pura kuat, atau bahkan menertawakan kesialan mereka sendiri. Karena di sistem yang menormalisasi ketidakwajaran, humor menjadi satu-satunya cara bertahan tanpa kehilangan kewarasan.
Penutup: Bersyukur Tanpa Tunduk
Bersyukur itu baik, tapi tidak harus selalu tunduk pada keadaan yang tidak adil dan pasrah sepenuhnya. Kita boleh berterima kasih pada hidup, tapi tetap berhak menuntut keadilan dari sistem yang korup dan menindas. Kita boleh bekerja keras, tapi juga berhak bertanya ketika hasil kerja keras kita itu tidak pernah cukup untuk hidup layak. Kita boleh tabah, tapi bukan berarti kita harus diam dan pasrah.
Normalisasi ketidakwajaran hanya bisa berhenti kalau kita berani mengembalikan makna kewajaran itu sendiri, bahwa hidup layak bukanlah sebuah kemewahan, tapi adalah hak setiap manusia.
"Bersyukur adalah sebuah tindakan yang sakral dan tak pernah salah, tapi diminta terus bersyukur tanpa kesempatan untuk menuntut keadilan, hanyalah bentuk kepasrahan yang dipoles agar tampak indah dipandang tapi tidak untuk dinormalisasikan."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI