Mohon tunggu...
giska naila
giska naila Mohon Tunggu... mahasiswa

hobi saya bermain musik, bernyanyi, dan saya suka menonton anime

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Ketika Bahasa Menjadi Tren: Refleksi atas gaya Berbahasa di media sosial

24 Juni 2025   07:43 Diperbarui: 24 Juni 2025   07:43 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

"Ketika Bahasa Menjadi Tren: Refleksi atas Gaya Berbahasa di Media Sosial"

Bahasa bukan lagi sekadar alat komunikasi. Di era media sosial, bahasa telah menjadi simbol gaya hidup, identitas, bahkan tren. Dari istilah "healing", "bestie", "gaskeun", hingga penggunaan emoji, singkatan, dan campuran bahasa asing---gaya berbahasa terus berkembang mengikuti arus zaman digital.
Media sosial membuat bahasa bersifat fleksibel, cepat, dan adaptif terhadap tren. Namun, di balik tren ini, muncul pertanyaan reflektif: apakah kebebasan berekspresi ini sejalan dengan kecakapan berbahasa yang baik dan benar?
Fenomena berbahasa di media sosial sangat unik dan khas. Bahasa gaul dan slang digital mendominasi percakapan sehari-hari, seperti "mager", "gabut", atau "bucin".
Penggunaan emoji, huruf kapital, dan singkatan memperkuat ekspresi seperti "AKU LELAH " atau "LOL" dan "wkwk".
Code-mixing (percampuran bahasa) menjadi hal biasa contohnya "Aku tuh literally capek mentally, but it's okay I guess."
Bahasa ini menjadi bagian dari identitas komunitas digital, yang menunjukkan keakraban, kekompakan, bahkan posisi sosial dalam sebuah circle.
Adapun faktor yang mendorong tren ini diantaranya seperti Influencer dan content creator sering memopulerkan gaya berbahasa tertentu, yang kemudian diikuti oleh jutaan pengikut. Keinginan dianggap relevan dan "kekinian".
Dampak positif yang di timbulkan meningkatkan ekspresi individual dan daya tarik konten digital, dampak negatifnya risiko penyalahgunaan makna atau multitafsir dalam komunikasi dan juga penggunaan bahasa baku bisa terabaikan.
Perubahan bahasa adalah hal yang wajar. Namun, pengguna media sosial perlu memiliki kesadaran kontekstual, yaitu kemampuan membedakan kapan dan di mana bahasa santai bisa digunakan, serta kapan harus berbahasa resmi dan sopan.
Bahasa adalah cermin zaman, dan media sosial adalah ruang terbuka bagi ekspresi. Namun, di balik semua tren dan gaya yang viral, tetap dibutuhkan kesadaran, kecerdasan, dan kepekaan dalam memilih dan menggunakan bahasa.
Tren boleh berganti, tapi kemampuan berbahasa yang baik dan kontekstual akan selalu relevan.
Mari bijak dalam berbahasa---karena apa yang kita tulis dan ucapkan mencerminkan siapa kita di dunia digital dan nyata.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun