Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Filosofi Fonetis Kopi

31 Oktober 2017   19:52 Diperbarui: 1 November 2017   04:49 3382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
A cup of coffee - ilustrasi: splishire.com

"Kopi adalah tentang menyederhanakan, hampir segala sesuatu."

Jika banyak buku, cerita, atau apapun yang hype menyelami filosofi kopi, maka tulisan ini berbeda. Dan artikel ini berangkat dari sesuatu yang begitu sederhana, dan sehari-hari kita rasa ucapkan. Ya, kopi.

Coba Anda ucapkan kata "kopi" perlahan. Tidak ada yang bisa Anda pahami bukan? Namun buat saya, suara mendatangkan makna.

Karena dasar ilmu saya juga menyentuh ilmu fonetis dan semiotika, maka tulisan ini terinspirasi suara kata "kopi". Baiklah saya coba saya jabarkan secara laymen atau orang awam akan mengerti.

Kata "kopi" sendiri terdiri atau 4 suara; /k/ atau keh, /o/ o, /p/ peh, dan /i/ i. Ada dua konsonan dan dua vokal. Kata bergaring adalah aktualisasi suara di mulut kita. Suara /k/ adalah suara yang bernama glotal stop atau dimula dari ujung tenggorok.

Posisinya tepat diatas jakun kita. Suara /p/ adalah bilabial plosif yang berasal dari letupan kedua bibir kita. Sedang vokal /o/ dan /i/ adalah entitas konvensi coda fonetis yang biasanya ditandai dengan KVKV (konsonan vokal konsonan vokal).

Jika sudah mengerti dasar sederhana diatas, maka akan saya tarik ke sedikit teori pemerolehan bahasa dan ranah semiotika.

Pertama, konsonan /k/ diperoleh tidak saat kita belajar suatu bahasa. Suara lain seperti /r/ dan /g/ juga demikian. Sebaliknya, suara /p/ dapat mudah dipelajari saat anak baru memahami bahasa. Kata seperti papa, mama, atau susu sering kita ajarkan dan diucapkan seorang anak. Konsonan /p/, /m/ atau /s/ adalah contoh lainnya. Dengan kata lain, semakin ke depan suara konsonan, maka semakin mudah diucapkan dan diajarkan.

Sehingga, kita bisa tarik simbolisasi yang terjadi dari kata "kopi". Kata kopi dimulai dari suara konsonan sulit ke konsonan yang cukup mudah. Coba dianalogikan dengan kata "susu" yang konsonannya sama-sama ada di depan. Maka secara makna, kata kopi mengajarkan kita bahwa ada makna penyederhanaan disana.

Dan bukankah hidup ini tentang menyederhanakan?

Bahkan paham dekonstruksi, eksistensialisme, atau bahkan teologi disampaikan dengan esensi menyederhanakan. Merumitkan adalah karakter seorang pemikir, filsuf, atau para jenius. Namun peran guru, orangtua atau penulis adalah menyederhanakan. Dan saya, Anda, atau orang lain akan lebih memilih sesuatu yang sederhana daripada kerumitan.

Hidup ini yang rumit ini pun memaksa kita menyederhanakan, bukan menyepelekan. Menyederhanakan ke dalam konteks keadaan pribadi masing-masing. Kesulitan akan bisa diatasi jika kita menyederhanakan langkah mencari solusinya. Kemungkinan kecil membereskan beberapa masalah sekaligus.

Begitupun dengan menikmati kopi. Dengan kopi, kita diajak menyederhanakan rasa pahit menjadi kenikmatan. Tidak semua orang suka pahit. Namun dengan kopi, kepahitannya adalah kenikmatan esensial. Karena jika kopi kehilangan pahitnya, maka sungkan rasanya kita juluki ia koip. Ia hanya minuman "rasa kopi". Teguklah dalam kepahitan tiap jenis kopi, maka ada nikmat yang begitu sederhana.

Teguklah kepahitan dalam hidup, cerna ia dengan kesederhanaan mampu kita. Mau tak mau, kopi telah secara inklandestin mengajarkan penyederhanaan. Karena semua rasa tidak bisa dibilang manis, asam, asin, jika pahit tidak menjadi dasarnya. Suara kata "kopi" pun tidak bisa diucap "piko" atau "poki", karena kopi tetap "kopi". Ada kerumitan yang bergeser ke dalam kesederhanaan.

Saat aspek fonetisnya bergerak dari dalam ke arah luar. Maka aspek semiotisnya bergerak dari luar ke arah dalam. Saat kita menunjukkan solusi sederhana menghadapi pahitnya hidup. Maka pahitnya hidup pun harus kita cerna menuju kesederhanaan upaya kita dari dalam. Kopi adalah tentang menyederhanakan, hampir segala sesuatu. Karena Tuhan masih cukup rumit untuk kita cerna.

*Sembari menghabiskan secangkir kopi di ujung Oktober.

Salam,

Wollongong, 31 Oktober 2017

11:52 pm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun