Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Filosofi Fonetis Kopi

31 Oktober 2017   19:52 Diperbarui: 1 November 2017   04:49 3382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
A cup of coffee - ilustrasi: splishire.com

Hidup ini yang rumit ini pun memaksa kita menyederhanakan, bukan menyepelekan. Menyederhanakan ke dalam konteks keadaan pribadi masing-masing. Kesulitan akan bisa diatasi jika kita menyederhanakan langkah mencari solusinya. Kemungkinan kecil membereskan beberapa masalah sekaligus.

Begitupun dengan menikmati kopi. Dengan kopi, kita diajak menyederhanakan rasa pahit menjadi kenikmatan. Tidak semua orang suka pahit. Namun dengan kopi, kepahitannya adalah kenikmatan esensial. Karena jika kopi kehilangan pahitnya, maka sungkan rasanya kita juluki ia koip. Ia hanya minuman "rasa kopi". Teguklah dalam kepahitan tiap jenis kopi, maka ada nikmat yang begitu sederhana.

Teguklah kepahitan dalam hidup, cerna ia dengan kesederhanaan mampu kita. Mau tak mau, kopi telah secara inklandestin mengajarkan penyederhanaan. Karena semua rasa tidak bisa dibilang manis, asam, asin, jika pahit tidak menjadi dasarnya. Suara kata "kopi" pun tidak bisa diucap "piko" atau "poki", karena kopi tetap "kopi". Ada kerumitan yang bergeser ke dalam kesederhanaan.

Saat aspek fonetisnya bergerak dari dalam ke arah luar. Maka aspek semiotisnya bergerak dari luar ke arah dalam. Saat kita menunjukkan solusi sederhana menghadapi pahitnya hidup. Maka pahitnya hidup pun harus kita cerna menuju kesederhanaan upaya kita dari dalam. Kopi adalah tentang menyederhanakan, hampir segala sesuatu. Karena Tuhan masih cukup rumit untuk kita cerna.

*Sembari menghabiskan secangkir kopi di ujung Oktober.

Salam,

Wollongong, 31 Oktober 2017

11:52 pm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun