Hidup ini yang rumit ini pun memaksa kita menyederhanakan, bukan menyepelekan. Menyederhanakan ke dalam konteks keadaan pribadi masing-masing. Kesulitan akan bisa diatasi jika kita menyederhanakan langkah mencari solusinya. Kemungkinan kecil membereskan beberapa masalah sekaligus.
Begitupun dengan menikmati kopi. Dengan kopi, kita diajak menyederhanakan rasa pahit menjadi kenikmatan. Tidak semua orang suka pahit. Namun dengan kopi, kepahitannya adalah kenikmatan esensial. Karena jika kopi kehilangan pahitnya, maka sungkan rasanya kita juluki ia koip. Ia hanya minuman "rasa kopi". Teguklah dalam kepahitan tiap jenis kopi, maka ada nikmat yang begitu sederhana.
Teguklah kepahitan dalam hidup, cerna ia dengan kesederhanaan mampu kita. Mau tak mau, kopi telah secara inklandestin mengajarkan penyederhanaan. Karena semua rasa tidak bisa dibilang manis, asam, asin, jika pahit tidak menjadi dasarnya. Suara kata "kopi" pun tidak bisa diucap "piko" atau "poki", karena kopi tetap "kopi". Ada kerumitan yang bergeser ke dalam kesederhanaan.
Saat aspek fonetisnya bergerak dari dalam ke arah luar. Maka aspek semiotisnya bergerak dari luar ke arah dalam. Saat kita menunjukkan solusi sederhana menghadapi pahitnya hidup. Maka pahitnya hidup pun harus kita cerna menuju kesederhanaan upaya kita dari dalam. Kopi adalah tentang menyederhanakan, hampir segala sesuatu. Karena Tuhan masih cukup rumit untuk kita cerna.
*Sembari menghabiskan secangkir kopi di ujung Oktober.
Salam,
Wollongong, 31 Oktober 2017
11:52 pm