Tadi pagi saya membaca satu tulisan menarik ketika sedang menjelajah di Medium. Sebuah tulisan berjudul "Aku Hanya Ingin Menulis" yang ditulis oleh @chocobanana99.
Saya tidak tahu nama aslinya. Jadi, mari kita sebut saja Mbak Choco—karena dia seorang wanita meskipun saya tidak yakin usianya sudah mbak-mbak.
Dia mengawali tulisannya dengan kalimat, "Seharusnya keinginan itu tidak sulit. Namun kenyataannya, mencari tempat yang nyaman untuk menulis ternyata tidak semudah itu." Sangat menarik! Saya langsung penasaran, kesulitan apa yang dialami Mbak Choco dalam menulis sampai dia membuat dua kalimat pertama seperti itu? Terkesan pasrah, ada sedikit optimistis meskipun tetap pesimistis, dan memberi aura suram.
Terkait kalimat pertama, saya percaya bahwa tulisan yang bagus dapat dilihat dari kalimat pertama, atau setidaknya paragraf pertama. Alasan sederhana: orang yang tulisannya ingin dibaca pasti akan merangkai paragraf pertama semenarik mungkin agar tulisannya dibaca. Orang yang tidak bisa membuat paragraf pertama, besar kemungkinan tidak tahu cara membuat paragraf kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya—dan hasilnya akan menjadi tulisan yang jelek.
Oh, ya, kemarin, Windy Ariestanty, salah satu editor profesional Indonesia, membuat twit yang (seharusnya) mewakili perasaan para penulis:
kalau baca tulisan jelek, aku, tuh, suka patah hati.--- windy ariestanty (@windyariestanty) December 28, 2018
Jasa Mbak Windy sudah banyak di dunia literasi, mohon jangan terlalu sering bikin beliau patah hati.
Mbak Choco melanjutkan tulisannya dengan, "Dulu sekali, ada tempat menulis yang sangat menyenangkan." Membaca kalimat itu membuat saya jadi semakin larut dalam cerita. Oh, sungguh, tempat apa itu? Apa yang membuatnya menyenangkan? Kenapa tempat itu spesial? "Mungkin ada yang pernah mendengar tentang platform menulis bernama Multiply?" lanjutnya pada kalimat kedua di paragraf kedua.
Multiply adalah salah satu platform menulis yang sekarang sudah tutup, dan karena itulah Mbak Choco terpaksa pindah rumah dari Multiply ke platform blog seperti Blogspot atau WordPress. Awalnya dia merasa nyaman, tetapi perasaan itu hanya bertahan sebentar karena beberapa alasan.
"Setelah itu, aku juga mencoba merambah Wattpad untuk menulis cerita, meski belum bisa konsisten sampai saat ini." Dari kalimat ini saya jadi satu hal penting: sebelumnya Mbak Choco menulis sesuatu yang bukan cerita—mungkin semacam diari—dan baru mulai bercerita di Wattpad. Sepengakuannya, Wattpad cukup menyenangkan, tetapi kurang cocok untuk jenis tulisannya yang random.
Ruru, salah satu teman Mbak Choco, di suatu hari memberi tahu sebuah platform baru. Mbak Choco mulai menemukan kesenangan lagi di dunia tulis-menulis karena teman-temannya sangat antusias menulis. Saya belajar satu hal penting lagi: terkadang kita bisa kehilangan selera menulis hanya karena persoalan sepele, seperti, tidak ada teman menulis.
Bagian klimaksnya ada di sini: setelah beberapa lama menulis di platform baru itu, Mbak Choco harus memilih berhenti menulis (lagi) dan meninggalkan tempat itu. "Lucu, sebab kami keluar karena soalan PUEBI." Saya tahu, kalimat berikutnya akan membahas sesuatu yang menarik: persoalan paling penting di dunia tulis-menulis.
"Kami tak menyangka pada akhirnya semua harapan hancur karena satu kalimat 'Ini bukan platform literasi, ini media sosial' yang diucapkan sebagai bentuk penolakan keras atas saran untuk lebih selektif memilih artikel-artikel terfavorit, paling tidak tulisan yang enak dibaca dan tidak membingungkan karena tanda baca yang kacau."
Beberapa orang bisa menebak platform apa yang dimaksud Mbak Choco. Saya sendiri bisa menebak karena pernah mendengar cerita serupa dari seorang kenalan—yang sudah lama menulis di sana. Kata kenalan saya, dulunya, platform itu adalah tempat perang para penganut KBBI dengan orang-orang serampangan: ada kubu yang menuntut menulis itu harus sesuai kaidah, ada juga yang merasa menulis di platform berbasis media sosial boleh sesuka hati.
Untuk beberapa hal, kalau saya ada di sana pada masa itu, saya akan mendukung kubu penganut KBBI. Alasannya: beda satu huruf dalam satu kata dapat mengubah sebuah makna. Sesederhana itu.
Jika Tuan mengurus negara, apa yang pertama dilakukan?
"Meluruskan bahasa," jawab Konfusius. "Jika bahasa tak lurus, yang terucap bisa menyalahi yang dimaksudkan. Jika yang terucap bukan yang dimaksud, apa yang seharusnya diperbuat takkan terlaksana. Jangan seenaknya berbahasa." pic.twitter.com/LdlHJngsAE--- Febry Silaban (@febry_hasian) December 13, 2018
Kita memang tidak boleh—bukan tidak bisa, kita sangat bisa, tetapi tidak boleh—seenaknya berbahasa. Sebab bahasa memiliki peran yang sangat penting.
Justru, menurut saya, kita seharusnya bersyukur karena hidup sebagai mahluk yang mengenal bahasa. Saya tidak bisa membayangkan betapa sulitnya menjadi manusia yang tidak bisa berbahasa: seperti bayi yang membuat pusing para orang tua karena kesulitan menerjemahkan tangis sebagai lapar atau ingin buang air besar.
Namun, sudahlah, itu tidak menjadi persoalan besar dalam beberapa situasi. Kita adalah manusia yang memiliki akal; kita mampu mengartikan sebuah kalimat dengan benar meskipun ditulis secara salah. Ketika kita membaca: "Kalo aq jadi bunga, qm mw jadi madu nya ga?" kita tetap paham bahwa itu sebuah rayuan yang meminta lawan bicara menjadi penyeimbang si pembicara.
Dengan kata lain, saya setuju bahwa menulis haruslah rapi dan benar, bahkan jika hanya menulis di media sosial. Akan tetapi, saya juga tidak masalah jika ada yang ingin memakai kata tidak baku, kalau mereka menulis untuk konteks nonformal dan di tempat yang memang tidak mengharuskan—dengan syarat melanggarnya tidak terlalu parah, minimal tetap menulis imbuhan sesuai aturan.
Toh, apalah artinya khatam KBBI kalau yang kita tulis hanya ujaran kebencian? Sebaliknya, bukankah tulisan yang berantakan tetap bernilai selama berisi kebaikan? Seperti kata pepatah, "Jangan lihat siapa yang berbicara, lihatlah apa yang dibicarakan." Sebab sering kali orang tua berbicara omong kosong dan anak muda membicarakan kebenaran.
Bisa jadi, alih-alih pandai menulis, sebenarnya kita lebih butuh pandai menghargai sesama. Dunia sudah dipenuhi oleh bajingan intoleran yang hendak menghancurkan peradaban, mohon jangan mempercepat kehancuran dengan ikut-ikutan.
Atau bisa juga, tulisan ini hanya omong kosong dari seorang yang bukan siapa-siapa dan tidak perlu Anda renungkan, anggap saja intermeso di tengah-tengah berita hoaks dan kumpulan ujaran kebencian yang semakin hari semakin ramai di permukaan.
Sebagai penutup, ini bukan paragraf terakhir dari tulisan Mbak Choco, tetapi saya ingin menempatkannya di paling akhir:
"Berdebat bukan sesuatu yang kami inginkan. Kami hanya ingin menulis. Namun, bagaimana kami bisa menulis jika selalu merasa tidak nyaman?" — @chocobanana99