Bagian klimaksnya ada di sini: setelah beberapa lama menulis di platform baru itu, Mbak Choco harus memilih berhenti menulis (lagi) dan meninggalkan tempat itu. "Lucu, sebab kami keluar karena soalan PUEBI." Saya tahu, kalimat berikutnya akan membahas sesuatu yang menarik: persoalan paling penting di dunia tulis-menulis.
"Kami tak menyangka pada akhirnya semua harapan hancur karena satu kalimat 'Ini bukan platform literasi, ini media sosial' yang diucapkan sebagai bentuk penolakan keras atas saran untuk lebih selektif memilih artikel-artikel terfavorit, paling tidak tulisan yang enak dibaca dan tidak membingungkan karena tanda baca yang kacau."
Beberapa orang bisa menebak platform apa yang dimaksud Mbak Choco. Saya sendiri bisa menebak karena pernah mendengar cerita serupa dari seorang kenalan—yang sudah lama menulis di sana. Kata kenalan saya, dulunya, platform itu adalah tempat perang para penganut KBBI dengan orang-orang serampangan: ada kubu yang menuntut menulis itu harus sesuai kaidah, ada juga yang merasa menulis di platform berbasis media sosial boleh sesuka hati.
Untuk beberapa hal, kalau saya ada di sana pada masa itu, saya akan mendukung kubu penganut KBBI. Alasannya: beda satu huruf dalam satu kata dapat mengubah sebuah makna. Sesederhana itu.
Jika Tuan mengurus negara, apa yang pertama dilakukan?
"Meluruskan bahasa," jawab Konfusius. "Jika bahasa tak lurus, yang terucap bisa menyalahi yang dimaksudkan. Jika yang terucap bukan yang dimaksud, apa yang seharusnya diperbuat takkan terlaksana. Jangan seenaknya berbahasa." pic.twitter.com/LdlHJngsAE--- Febry Silaban (@febry_hasian) December 13, 2018
Kita memang tidak boleh—bukan tidak bisa, kita sangat bisa, tetapi tidak boleh—seenaknya berbahasa. Sebab bahasa memiliki peran yang sangat penting.Â
Justru, menurut saya, kita seharusnya bersyukur karena hidup sebagai mahluk yang mengenal bahasa. Saya tidak bisa membayangkan betapa sulitnya menjadi manusia yang tidak bisa berbahasa: seperti bayi yang membuat pusing para orang tua karena kesulitan menerjemahkan tangis sebagai lapar atau ingin buang air besar.
Namun, sudahlah, itu tidak menjadi persoalan besar dalam beberapa situasi. Kita adalah manusia yang memiliki akal; kita mampu mengartikan sebuah kalimat dengan benar meskipun ditulis secara salah. Ketika kita membaca: "Kalo aq jadi bunga, qm mw jadi madu nya ga?" kita tetap paham bahwa itu sebuah rayuan yang meminta lawan bicara menjadi penyeimbang si pembicara.
Dengan kata lain, saya setuju bahwa menulis haruslah rapi dan benar, bahkan jika hanya menulis di media sosial. Akan tetapi, saya juga tidak masalah jika ada yang ingin memakai kata tidak baku, kalau mereka menulis untuk konteks nonformal dan di tempat yang memang tidak mengharuskan—dengan syarat melanggarnya tidak terlalu parah, minimal tetap menulis imbuhan sesuai aturan.
Toh, apalah artinya khatam KBBI kalau yang kita tulis hanya ujaran kebencian? Sebaliknya, bukankah tulisan yang berantakan tetap bernilai selama berisi kebaikan? Seperti kata pepatah, "Jangan lihat siapa yang berbicara, lihatlah apa yang dibicarakan." Sebab sering kali orang tua berbicara omong kosong dan anak muda membicarakan kebenaran.