Mohon tunggu...
Humaniora

Pluralism of Indonesia

4 Februari 2017   16:09 Diperbarui: 12 September 2017   11:36 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Tidak ada yang salah dengan perbedaan. Yang bermasalah adalah keegoisan kita dalam memandang perbedaan."

Pertama-tama saya mohon kesediaan saudara/i untuk menonton satu video bermanfaat di bawah ini sebagai pendahuluan. (video oleh Arul Camp)


Inilah keprihatinan seorang siswa SMA kepada Indonesia, tanah airnya yang tecinta.

Ya benar, kita semua INDONESIA. Kita semua merupakan satu dari kurang lebih 237.641.362 manusia yang ada di Indonesia. Bisa dibayangkan betapa banyak perbedaan yang muncul dari masing-masing kepala tersebut, karena manusia telah diberikan kehendak bebas oleh yang empunya kehidupan. Kenyataannya, Indonesia, negara yang merdeka pada tahun 1945 ini dapat mengatasi keberagaman itu dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika-nya (berbeda-beda tetapi tetap satu) yang terpampang dengan jelas di kaki burung garuda, membuat jiwa patriotisme dan nasionalisme dapat berkorbar demi bangsa dan negara. Hal ini dapat kita lihat dari bagaimana para tokoh pendiri bangsa kita menyatukan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Kegigihan dan konsistensi mereka (founding fathers of indonesia) tak bisa diuraikan dengan kata-kata, karenanya mereka berhasil membakar semangat rakyat untuk berjuang demi kemerdekaan. Betapa artistik goresan kuas mereka di atas lembaran cerita bangsa Indonesia dari yang awalnya penuh dengan kepedihan sampai akhrinya merdeka. Lagi-lagi, semua ini dapat tercapai karena adanya PERSATUAN.

Mungkin setelah membaca sampai sini, mulai timbul perasaan "apa sih? kayaknya engga gitu deh Indonesia, itu kan dulu" That's what I'm trying to say. Setelah masa-masa kemerdekaan telah berakhir. Aksi-aksi pemecah belah persatuan Indonesia yang telah dibangun susah payah, mulai bermunculan dari munculnya paham komunisme tahun 1965 sampai gerakan-gerakan radikal yang terjadi akhir 2016 sampai awal 2017 ini. Memang saya baru lahir pada tahun 2000 dan apa yang saya saksikan belum seberapa, tetapi saya merasa sangat gundah dan tidak nyaman dengan kegiatan perpolitikan Indonesia akhir-akhir ini. Saya, yang sejak kecil diajarkan untuk menghargai pendapatan orang lain dan disekolahkan di sekolah yang mayoritasnya adalah ras lain (saya minoritas) sangat merasakan ironi dinamika kehidupan berpolitik di Indonesia. Mengapa saya menganggap kehidupan berpolitik di Indonesia sangat ironis? Karena saya merasa apa yang telah dilakukan para tokoh pendiri kemerdekaan adalah SIA-SIA. Mereka mengajarkan kita tentang kebhinekaan, tetapi kenyataan sekarang segelintir orang malah memulai aksi perpecahan yang diberi pemanis unsur SARA agar sensitif dan dibalut dalam sarung politik agar kepentingan beberapa orang dapat tercapai dengan mengorbankan yang lainnya. Menurut saya, Indonesia tidaklah harus menjadi seperti ini, karena lagipula kehidupan tak akan seindah sekarang jika manusia hanya mampu melihat satu jenis warna bukan. Seperti yang telah saya katakan, bahwa mesikpun saya kaum minoritas di sekolah saya merasa dihargai oleh teman-teman saya dan saya yakin itulah yang diinginkan oleh para tokoh pendiri kita, Beauty in Diversity.

Tak banyak yang saya bisa lakukan sebagai pelajar untuk menghilangkan aksi-aksi yang mengandung SARA di Indonesia. Saya hanya dapat mengajakan teman-teman untuk berpikir kritis dalam menanggapi hal-hal yang berbau politik, kita harus tahu bahwa Politics exists as a part of common interest and not personal. Saya paling tidak suka dengan orang yang mengatakan "saya cuman ikut-ikutan doang" maka dari itu berpikir kritis lah, dengan begitu kita akan mengetahui bahwa suatu kegiatan itu benar atau tidak. Saya yakin, apabila paling tidak sebagian masyarakat Indonesia dapat berpikir kritis maka hal-hal berbau SARA tidak akan menggoncangkan ke-Bhinekaan kita untuk selamanya. Perbedaan adalah kekuatan yang sedang bersembunyi, menunggu waktu untuk menyerang.

Gunakan #bersamamerawatperbedaan di social media anda untuk menunjukkan kemauan anda mencapai persatuan dalam keberagaman.

Belajar matematika dengan Adi
Pusing berkutat dengan angka
Berpikir kritislah engkau muda mudi
Demi Indonesia yang lebih bhinneka

#bersamamerawatperbedaan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun