Di tengah budaya yang menjunjung keterhubungan dan rasa tidak enakan, konsep personal boundaries sering kali terdengar asing, bahkan dianggap egois. Padahal, batasan pribadi justru bisa menjadi fondasi dari hubungan yang sehat baik secara emosional, sosial, maupun psikologis.
Pernahkah seseorang berada dalam sebuah ruang kerja atau komunitas, namun merasa kehadirannya nyaris tidak terlihat? Tidak diajak dalam kegiatan bersama, tidak dikabari saat yang lain pergi. Dalam situasi semacam ini, bukan tidak mungkin seseorang mulai mempertanyakan nilai dirinya di mata orang lain.
Sebagian orang memilih tetap bertahan, berharap perubahan terjadi. Namun ada juga yang mulai menetapkan batasan: mengurangi komunikasi, menjaga jarak, dan fokus pada pekerjaan atau hal-hal produktif lainnya. Itu bukan bentuk dendam melainkan langkah untuk memulihkan martabat dan kenyamanan pribadi.
Menurut artikel dari Hello Sehat, ini termasuk batasan emosional, yaitu perlindungan terhadap stres dan rasa terluka karena perlakuan orang lain.
Dalam situasi lain, seseorang yang sudah sangat dekat dengan teman atau sahabat bisa dihadapkan pada permintaan yang sulit ditolak, misalnya meminjamkan uang. Awalnya, karena rasa percaya dan kedekatan, bantuan itu diberikan. Namun saat tanggung jawab tak kunjung dipenuhi, kekecewaan mulai tumbuh.
Akhirnya, orang tersebut memilih menetapkan batas baru: menjaga jarak, tidak lagi terbuka terhadap permintaan serupa, dan membatasi interaksi. Ini adalah contoh nyata dari batasan material membatasi akses orang lain terhadap sumber daya pribadi demi menjaga kestabilan finansial dan emosional.
Batas ini memang berat ditetapkan, apalagi jika bertentangan dengan nilai loyalitas yang telah lama dipegang. Namun, mengabaikannya bisa berarti terus membiarkan diri dalam pola yang merugikan.
Dalam perjalanan relasi antar individu, khususnya proses pendekatan, tak jarang seseorang mengalami ketidakjelasan: setelah berbagi perhatian dan waktu, komunikasi tiba-tiba terhenti tanpa penjelasan. Bagi sebagian orang, hal ini bisa sangat merobek harga diri.
Alih-alih mengejar atau memaksa kejelasan, sebagian memilih untuk berhenti, mengakhiri komunikasi, dan menjaga jarak. Bagi mereka, menghargai diri sendiri lebih penting daripada mempertahankan interaksi yang tidak memberi respek yang sama.
Ini adalah bentuk lain dari batasan emosional dan waktu memberi ruang untuk menyembuhkan diri tanpa harus menjelaskan keputusan tersebut kepada orang yang tidak mampu menghargai.
Menariknya, respons ini sering kali berbeda dari norma sosial di mana seseorang dianggap harus terus berjuang demi cinta atau perhatian. Justru sikap 'cut off' bisa jadi pernyataan tegas bahwa kebahagiaan dan keseimbangan emosional adalah prioritas.