Mohon tunggu...
Agil Maulana Marzuki
Agil Maulana Marzuki Mohon Tunggu... Mahasiswa

Sapere aude

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Siapa yang Jahat? Hukum, Kekuasaan, dan Kriminalitas dalam Perspektif Marxis

14 Juni 2025   16:03 Diperbarui: 14 Juni 2025   19:33 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pin.it/yRPVqsc9b

"Kejahatan bukan hanya siapa yang melanggar hukum, tetapi siapa yang membuat hukum dan siapa yang ditunjuk sebagai pelakunya."

Ketika kita berbicara tentang kejahatan, bayangan yang muncul sering kali adalah sosok individu yang mencuri, membunuh, atau menipu seseorang yang dengan sadar melanggar hukum. Namun dalam pemikiran Marxis, kejahatan tidak sesederhana itu. Ia tidak hanya dilihat sebagai perbuatan menyimpang dari norma hukum, tetapi sebagai manifestasi dari struktur sosial yang timpang. Marxisme menantang kita untuk melihat hukum bukan sebagai institusi netral, tetapi sebagai refleksi dari kekuasaan kelas dalam masyarakat. Dalam pandangan ini, pertanyaan mendasar bukan hanya "siapa yang melanggar hukum?", tetapi "siapa yang membuat hukum dan untuk siapa hukum itu bekerja?"

Hukum sebagai Cermin Kekuasaan Kelas

Menurut Karl Marx, "hukum hanyalah kehendak kelas penguasa yang diangkat menjadi hukum umum" (Das Kapital, 1867). Pernyataan ini menegaskan bahwa dalam masyarakat kapitalis, hukum bukanlah hasil dari kehendak bersama (volont générale), sebagaimana dibayangkan oleh filsuf seperti Rousseau, tetapi merupakan instrumen dominasi kelas.

Hukum terbentuk dalam kerangka struktur ekonomi. Dalam A Contribution to the Critique of Political Economy (1859), Marx menjelaskan bahwa basis (struktur ekonomi) menentukan superstruktur (termasuk hukum, politik, ideologi). Dengan kata lain, hukum diciptakan dan dijalankan untuk mempertahankan kepemilikan alat produksi oleh kelas borjuis dan menundukkan kelas prproletariat.

Contohnya dapat dilihat dalam undang-undang ketenagakerjaan yang membatasi hak mogok kerja, atau hukum pertanahan yang menghalangi akses petani terhadap tanah. Dalam kasus ini, hukum bukan melindungi masyarakat secara keseluruhan, tetapi mempertahankan status quo yang menguntungkan minoritas kaya.

Konstruksi Sosial terhadap Kriminalitas

Kriminalitas dalam Marxisme dipandang sebagai fenomena sosial yang dikonstruksi, bukan semata hasil dari kehendak bebas individu. Pemikir Neo-Marxis seperti Richard Quinney dalam bukunya The Social Reality of Crime (1970) berargumen bahwa "definisi kejahatan dibuat oleh mereka yang memiliki kekuasaan untuk melindungi kepentingan mereka sendiri."

Konsep ini berarti bahwa tindakan dianggap kriminal bukan karena inheren salah secara moral, tetapi karena mengancam kepentingan kelas penguasa. Di satu sisi, pencurian kecil oleh rakyat miskin segera dihukum berat, sementara di sisi lain, pencurian besar-besaran oleh korporasi diberi ruang legal untuk bernegosiasi dan lolos dari jerat hukum.

William Chambliss, dalam studinya The Saints and the Roughnecks (1973), menunjukkan bahwa dua kelompok remaja yang melakukan pelanggaran yang serupa diperlakukan sangat berbeda oleh sistem hukum semata-mata karena status kelas dan penampilan sosial mereka. Chambliss menyimpulkan bahwa sistem hukum menciptakan dan memperkuat stereotip sosial yang menguntungkan kelompok dominan.

Hukum sebagai Aparatus Ideologis Negara

Dalam pandangan Louis Althusser, hukum bukan hanya alat represi (seperti polisi dan militer), tetapi bagian dari Ideological State Apparatus (ISA) yang membentuk kesadaran masyarakat agar tetap patuh kepada tatanan kapitalis. Dalam tulisannya Ideology and Ideological State Apparatuses (1970), Althusser menulis bahwa "ideologi bekerja melalui institusi-institusi seperti sekolah, gereja, media, dan hukum, untuk menanamkan nilai-nilai yang mendukung dominasi kelas."

Hukum menciptakan ilusi bahwa ia bekerja atas dasar keadilan netral. Padahal, fungsi utamanya adalah menjaga stabilitas sistem kapitalis melalui legitimasi simbolik. Dalam konteks ini, hukum memainkan peran ganda:

  • Menampilkan dirinya sebagai institusi rasional dan adil, agar masyarakat percaya bahwa sistem hukum melindungi semua orang secara setara.
  • Menutupi kekerasan struktural, seperti pengangguran, upah rendah, diskriminasi, dan ketimpangan sosial, yang sebenarnya merupakan hasil sistemik dari kapitalisme itu sendiri.

Dengan demikian, hukum tidak hanya menindas secara fisik, tetapi juga membentuk cara berpikir masyarakat agar menerima ketidakadilan sebagai "normal" atau bahkan "adil". "normal" atau bahkan "adil".

Siapa yang Ditunjuk Sebagai Pelaku Kejahatan?

Pertanyaan tentang siapa yang dianggap pelaku kejahatan merupakan inti dari kritik Marxis terhadap sistem hukum modern. Dalam masyarakat kapitalis, terdapat kecenderungan kuat untuk menunjuk individu-individu dari kelas bawah sebagai kriminal, sementara membiarkan elite ekonomi dan politik lolos dari pengawasan.

Michel Foucault, meskipun bukan Marxis murni, memberikan kontribusi penting dalam memahami bagaimana kekuasaan bekerja dalam sistem hukum dan penjara. Dalam Discipline and Punish (1975), Foucault menjelaskan bahwa sistem hukuman modern tidak hanya bertujuan menghukum, tetapi juga mengawasi dan mendisiplinkan tubuh masyarakat. Proletariat, pengangguran, imigran, dan kelompok minoritas lainnya menjadi target utama dari aparatus disipliner ini.

Selain itu, David Garland dalam The Culture of Control (2001) menunjukkan bahwa hukum pidana dalam masyarakat neoliberal berperan besar dalam menciptakan ketakutan sosial dan memperkuat pengendalian terhadap kelompok marginal, bukan terhadap pelanggaran struktural yang lebih serius.

Kejahatan Struktural dan Kejahatan Legal

Dalam Marxisme, penting untuk membedakan antara "kejahatan legal" dan "kejahatan struktural". Kejahatan legal adalah tindakan yang dilabeli sebagai kriminal oleh hukum positif misalnya mencuri, membunuh, atau menipu. Sedangkan kejahatan struktural adalah bentuk kekerasan yang dilembagakan melalui sistem ekonomi dan politik yang menyebabkan penderitaan massal tetapi tidak dianggap kriminal secara hukum.

Johan Galtung, dalam konsepnya tentang structural violence, menyatakan bahwa ketika individu dipaksa hidup dalam kemiskinan, kelaparan, dan ketidaktahuan karena struktur sosial, maka itu adalah bentuk kekerasan yang lebih destruktif daripada kekerasan langsung. Namun karena kekerasan ini dilembagakan, ia tidak terlihat sebagai "kejahatan" dalam pandangan hukum konvensional.

Maka pertanyaannya mengapa membiarkan satu keluarga hidup dalam kelaparan bukan dianggap kejahatan, sementara mencuri satu roti bisa menyebabkan seseorang dipenjara?

Kasus-kasus Konkrit Kapitalisme dan Hukum dalam Praktik

a. Penggusuran dan Perampasan Lahan

Di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia, hukum sering digunakan untuk melegitimasi penggusuran atas nama pembangunan. Proyek infrastruktur yang dibiayai investor besar sering memanfaatkan hukum pertanahan untuk menggusur masyarakat miskin tanpa ganti rugi yang layak. Dalam hal ini, hukum bukan alat keadilan, tetapi instrumen legalisasi perampasan.

b. Kriminalisasi Aktivisme

Aktivis lingkungan, buruh, dan mahasiswa yang melawan ketidakadilan kerap dikriminalisasi dengan tuduhan seperti "mengganggu ketertiban umum" atau bahkan "subversif". Ini adalah contoh nyata bagaimana hukum bekerja melindungi sistem, bukan kebenaran.

Menuju Definisi Baru tentang Kejahatan dan Keadilan

Marxisme mengajak kita untuk mendekonstruksi makna kejahatan. Dalam kerangka ini, kejahatan bukan hanya soal tindakan individual yang melanggar hukum, melainkan bagian dari struktur sosial yang menghasilkan penderitaan kolektif.

Oleh karena itu, dalam pandangan emansipatoris

Kejahatan sejati adalah struktur yang menindas manusia secara sistemik, meskipun tidak dikategorikan sebagai kriminal oleh hukum positif.

Keadilan bukan sekadar penegakan hukum, tetapi pembebasan manusia dari eksploitasi, alienasi, dan kemiskinan.

Sebagaimana ditegaskan oleh Antonio Gramsci, hukum juga bisa menjadi medan perjuangan hegemoni. Hukum tidak selalu mutlak dikuasai oleh kelas atas; ia bisa direbut kembali melalui perjuangan politik, kesadaran kolektif, dan pembentukan kontra-hegemoni.

Membongkar Ilusi Hukum, Membangun Jalan Menuju Keadilan Emansipatoris

Dalam perjalanan panjang sejarah umat manusia, hukum selalu diklaim sebagai pilar peradaban, fondasi keadilan, dan jalan menuju ketertiban. Kita diajarkan sejak dini bahwa melanggar hukum adalah dosa sosial, bahwa setiap kriminal layak dipenjara, dan bahwa para penegak hukum berdiri di pihak kebenaran. Namun ketika kita membuka mata melalui kacamata Marxis, narasi itu perlahan-lahan runtuh. Bukan karena hukum tidak penting, tetapi karena hukum yang ada saat ini dalam masyarakat kapitalis yang timpang lebih banyak berfungsi sebagai alat dominasi ketimbang instrumen pembebasan.

Seperti telah dibahas, dalam pemikiran Karl Marx dan para penerusnya, hukum tidak berdiri sendiri. Ia bukan sistem otonom yang netral dan adil, melainkan bagian dari superstruktur yang dibentuk oleh basis ekonomi. Artinya, siapa yang membuat hukum, siapa yang menegakkannya, dan siapa yang diuntungkan oleh keberadaannya sangat bergantung pada relasi kekuasaan dalam masyarakat. Dalam kapitalisme, kelas borjuis yang menguasai alat produksi, kekayaan, dan sumber daya politi juga menguasai hukum. Akibatnya, kejahatan didefinisikan berdasarkan logika kelas dominan: segala sesuatu yang mengancam stabilitas sistem dan kepemilikannya dianggap kriminal, sementara kekerasan struktural yang justru menopang ketimpangan ekonomi malah dilegalkan.

Inilah paradoks besar dalam sistem hukum kapitalis: eksploitasi dilegalkan, tetapi perlawanan dikriminalkan. Mengambil sedikit demi kelangsungan hidup dianggap kriminal, tetapi menumpuk banyak melalui pemiskinan massal justru dilindungi. Contoh ini nyata dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari: petani kecil dikriminalisasi karena mengelola tanah yang secara historis telah mereka huni, sementara perusahaan-perusahaan besar dengan mudah memperoleh konsesi lahan melalui korupsi dan kolusi. Buruh yang mogok karena upah tidak layak sering dituduh mengganggu ketertiban umum, sementara pemilik modal yang melakukan pemutusan hubungan kerja massal tanpa kompensasi hanya dipanggil "efisien".

Lebih jauh, hukum juga tidak berdiri sendirian dalam menindas; ia dibantu oleh media, pendidikan, dan agama semuanya bagian dari Ideological State Apparatus dalam analisis Louis Althusser. Media massa, misalnya, memainkan peran penting dalam membentuk opini publik tentang siapa yang "jahat" dan siapa yang "pahlawan". Kriminal dari kalangan miskin ditampilkan dengan wajah penuh amarah di layar kaca, sementara pejabat yang korup ditampilkan santun, bersih, dan penuh senyum di konferensi pers. Ini bukan sekadar bias pemberitaan, tetapi strategi sistemik untuk membentuk kesadaran publik agar tunduk dan patuh pada tatanan yang timpang.

Lebih tragis lagi, hukum juga menjadi instrumen pelestarian ketakutan. Ketakutan terhadap "penyusup", "radikalis", "kriminal jalanan", dan seterusnya menciptakan justifikasi bagi peningkatan kontrol sosial, pengawasan, dan represifitas negara. Dalam masyarakat neoliberal yang sarat krisis, hukum bertransformasi menjadi bagian dari "industri ketakutan". Sebagaimana diungkap oleh David Garland dalam The Culture of Control (2001), negara modern bukan lagi mengurusi kesejahteraan sosial, melainkan sibuk mengelola ancaman kriminalitas dengan cara-cara militeristik dan punitif. Ini melahirkan rezim hukum yang tak hanya menindas, tetapi juga memperluas kuasa melalui ketakutan.

Dalam kondisi semacam ini, masyarakat didorong untuk mematuhi hukum bukan karena mereka memahami dan menyetujui keadilannya, tetapi karena takut akan sanksinya. Rasa takut menggantikan partisipasi, dan hukum kehilangan sifat demokratisnya. Hukum menjadi instrumen legitimasi bagi kekuasaan dan represi, bukan lagi arena etika kolektif.

Namun, Marxisme tidak hanya menawarkan kritik. Ia juga menawarkan jalan menuju transformasi. Bagi Marx dan para penerusnya, hukum tidak harus selalu menjadi instrumen penindasan. Dalam masyarakat yang egaliter, hukum bisa berubah fungsi dari alat dominasi menjadi alat emansipasi. Tapi untuk itu, terlebih dahulu kita harus membongkar struktur ekonomi-politik yang melandasinya.

Transformasi hukum memerlukan perubahan radikal dalam relasi produksi. Hanya dalam masyarakat sosialis di mana alat-alat produksi dikuasai secara kolektif oleh rakyat, bukan oleh segelintir elite hukum dapat ditransformasikan menjadi sarana perlindungan terhadap kaum lemah dan jaminan bagi martabat manusia. Dalam masyarakat semacam itu, hukum tidak lagi ditulis oleh borjuis untuk menindas proletar, melainkan disusun secara demokratis untuk menghapus ketimpangan dan melindungi hak-hak kolektif. Ini bukan utopia kosong, melainkan cita-cita yang telah menjadi dasar dari berbagai perjuangan revolusioner di dunia.

Tetapi perjuangan menuju masyarakat adil tidak bisa dilakukan hanya melalui wacana hukum. Ia harus dibarengi dengan perjuangan politik, pendidikan kritis, dan pembangunan kesadaran kelas. Di sinilah pentingnya peran intelektual organik sebagaimana dijelaskan Antonio Gramsci yaitu mereka yang berasal dari kelas tertindas dan menyadari peran historisnya dalam mentransformasikan masyarakat. Para intelektual semacam inilah yang harus terus mengintervensi ruang-ruang publik, menggugat hegemoni hukum kapitalis, dan membangun kontra-narasi yang membela keadilan sejati.

Keadilan dalam pandangan Marxis bukanlah keadilan prosedural yang sekadar mematuhi aturan. Keadilan adalah realisasi kondisi sosial di mana tidak ada satu pun individu yang mengalami penderitaan akibat sistem, di mana hak untuk hidup layak tidak dikorbankan demi akumulasi laba, dan di mana hukum benar-benar berdiri untuk manusia, bukan untuk kapital.

Dalam konteks Indonesia, hal ini sangat relevan. Kita hidup dalam negara hukum yang konstitusinya menjamin keadilan sosial (lihat Pasal 33 dan 34 UUD 1945), tetapi dalam praktiknya sering kali hukum hanya berpihak pada mereka yang punya akses terhadap kekuasaan dan uang. Reforma agraria terhambat, korupsi dilembagakan, dan kaum miskin terus dikriminalisasi. Banyak aktivis lingkungan dan hak asasi manusia dibungkam dengan berbagai tuduhan hukum. Maka, menggugat hukum dalam perspektif Marxis bukan sekadar tugas akademik, melainkan kebutuhan politis dan moral.

Penutup ini mengajak kita untuk menyadari bahwa hukum bukanlah entitas sakral yang tak tersentuh kritik. Ia adalah hasil ciptaan manusia, dan karena itu bisa, bahkan harus, dibongkar dan dibangun ulang. Jika hukum hari ini lebih banyak melindungi pemilik modal, maka tugas kita adalah menjadikannya alat pembebasan bagi kaum tertindas.

Sebagaimana Rosa Luxemburg berkata, "Kebebasan hanyalah kebebasan bagi mereka yang berpikir berbeda." Dan kebebasan yang sejati tak mungkin terwujud dalam sistem hukum yang melanggengkan dominasi satu kelas atas yang lain. Maka perjuangan kita bukan hanya menegakkan hukum, tetapi juga memperjuangkan dunia yang lebih adil, dunia di mana keadilan tidak lagi dibatasi oleh batas-batas legalitas, tetapi ditentukan oleh nilai-nilai kemanusiaan yang sejati.

Sebagai penutup terakhir, marilah kita renungkan: selama hukum masih tunduk pada logika kapital, maka kita semua hidup dalam sistem di mana pelaku kejahatan sejati mungkin tidak pernah disidang, dan korban sejati mungkin tidak pernah mendapat keadilan. Dan dalam dunia seperti itu, tidak cukup hanya patuh pada hukum kita harus berani menggugatnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun