Marxisme mengajak kita untuk mendekonstruksi makna kejahatan. Dalam kerangka ini, kejahatan bukan hanya soal tindakan individual yang melanggar hukum, melainkan bagian dari struktur sosial yang menghasilkan penderitaan kolektif.
Oleh karena itu, dalam pandangan emansipatoris
Kejahatan sejati adalah struktur yang menindas manusia secara sistemik, meskipun tidak dikategorikan sebagai kriminal oleh hukum positif.
Keadilan bukan sekadar penegakan hukum, tetapi pembebasan manusia dari eksploitasi, alienasi, dan kemiskinan.
Sebagaimana ditegaskan oleh Antonio Gramsci, hukum juga bisa menjadi medan perjuangan hegemoni. Hukum tidak selalu mutlak dikuasai oleh kelas atas; ia bisa direbut kembali melalui perjuangan politik, kesadaran kolektif, dan pembentukan kontra-hegemoni.
Membongkar Ilusi Hukum, Membangun Jalan Menuju Keadilan Emansipatoris
Dalam perjalanan panjang sejarah umat manusia, hukum selalu diklaim sebagai pilar peradaban, fondasi keadilan, dan jalan menuju ketertiban. Kita diajarkan sejak dini bahwa melanggar hukum adalah dosa sosial, bahwa setiap kriminal layak dipenjara, dan bahwa para penegak hukum berdiri di pihak kebenaran. Namun ketika kita membuka mata melalui kacamata Marxis, narasi itu perlahan-lahan runtuh. Bukan karena hukum tidak penting, tetapi karena hukum yang ada saat ini dalam masyarakat kapitalis yang timpang lebih banyak berfungsi sebagai alat dominasi ketimbang instrumen pembebasan.
Seperti telah dibahas, dalam pemikiran Karl Marx dan para penerusnya, hukum tidak berdiri sendiri. Ia bukan sistem otonom yang netral dan adil, melainkan bagian dari superstruktur yang dibentuk oleh basis ekonomi. Artinya, siapa yang membuat hukum, siapa yang menegakkannya, dan siapa yang diuntungkan oleh keberadaannya sangat bergantung pada relasi kekuasaan dalam masyarakat. Dalam kapitalisme, kelas borjuis yang menguasai alat produksi, kekayaan, dan sumber daya politi juga menguasai hukum. Akibatnya, kejahatan didefinisikan berdasarkan logika kelas dominan: segala sesuatu yang mengancam stabilitas sistem dan kepemilikannya dianggap kriminal, sementara kekerasan struktural yang justru menopang ketimpangan ekonomi malah dilegalkan.
Inilah paradoks besar dalam sistem hukum kapitalis: eksploitasi dilegalkan, tetapi perlawanan dikriminalkan. Mengambil sedikit demi kelangsungan hidup dianggap kriminal, tetapi menumpuk banyak melalui pemiskinan massal justru dilindungi. Contoh ini nyata dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari: petani kecil dikriminalisasi karena mengelola tanah yang secara historis telah mereka huni, sementara perusahaan-perusahaan besar dengan mudah memperoleh konsesi lahan melalui korupsi dan kolusi. Buruh yang mogok karena upah tidak layak sering dituduh mengganggu ketertiban umum, sementara pemilik modal yang melakukan pemutusan hubungan kerja massal tanpa kompensasi hanya dipanggil "efisien".
Lebih jauh, hukum juga tidak berdiri sendirian dalam menindas; ia dibantu oleh media, pendidikan, dan agama semuanya bagian dari Ideological State Apparatus dalam analisis Louis Althusser. Media massa, misalnya, memainkan peran penting dalam membentuk opini publik tentang siapa yang "jahat" dan siapa yang "pahlawan". Kriminal dari kalangan miskin ditampilkan dengan wajah penuh amarah di layar kaca, sementara pejabat yang korup ditampilkan santun, bersih, dan penuh senyum di konferensi pers. Ini bukan sekadar bias pemberitaan, tetapi strategi sistemik untuk membentuk kesadaran publik agar tunduk dan patuh pada tatanan yang timpang.
Lebih tragis lagi, hukum juga menjadi instrumen pelestarian ketakutan. Ketakutan terhadap "penyusup", "radikalis", "kriminal jalanan", dan seterusnya menciptakan justifikasi bagi peningkatan kontrol sosial, pengawasan, dan represifitas negara. Dalam masyarakat neoliberal yang sarat krisis, hukum bertransformasi menjadi bagian dari "industri ketakutan". Sebagaimana diungkap oleh David Garland dalam The Culture of Control (2001), negara modern bukan lagi mengurusi kesejahteraan sosial, melainkan sibuk mengelola ancaman kriminalitas dengan cara-cara militeristik dan punitif. Ini melahirkan rezim hukum yang tak hanya menindas, tetapi juga memperluas kuasa melalui ketakutan.
Dalam kondisi semacam ini, masyarakat didorong untuk mematuhi hukum bukan karena mereka memahami dan menyetujui keadilannya, tetapi karena takut akan sanksinya. Rasa takut menggantikan partisipasi, dan hukum kehilangan sifat demokratisnya. Hukum menjadi instrumen legitimasi bagi kekuasaan dan represi, bukan lagi arena etika kolektif.