Namun, Marxisme tidak hanya menawarkan kritik. Ia juga menawarkan jalan menuju transformasi. Bagi Marx dan para penerusnya, hukum tidak harus selalu menjadi instrumen penindasan. Dalam masyarakat yang egaliter, hukum bisa berubah fungsi dari alat dominasi menjadi alat emansipasi. Tapi untuk itu, terlebih dahulu kita harus membongkar struktur ekonomi-politik yang melandasinya.
Transformasi hukum memerlukan perubahan radikal dalam relasi produksi. Hanya dalam masyarakat sosialis di mana alat-alat produksi dikuasai secara kolektif oleh rakyat, bukan oleh segelintir elite hukum dapat ditransformasikan menjadi sarana perlindungan terhadap kaum lemah dan jaminan bagi martabat manusia. Dalam masyarakat semacam itu, hukum tidak lagi ditulis oleh borjuis untuk menindas proletar, melainkan disusun secara demokratis untuk menghapus ketimpangan dan melindungi hak-hak kolektif. Ini bukan utopia kosong, melainkan cita-cita yang telah menjadi dasar dari berbagai perjuangan revolusioner di dunia.
Tetapi perjuangan menuju masyarakat adil tidak bisa dilakukan hanya melalui wacana hukum. Ia harus dibarengi dengan perjuangan politik, pendidikan kritis, dan pembangunan kesadaran kelas. Di sinilah pentingnya peran intelektual organik sebagaimana dijelaskan Antonio Gramsci yaitu mereka yang berasal dari kelas tertindas dan menyadari peran historisnya dalam mentransformasikan masyarakat. Para intelektual semacam inilah yang harus terus mengintervensi ruang-ruang publik, menggugat hegemoni hukum kapitalis, dan membangun kontra-narasi yang membela keadilan sejati.
Keadilan dalam pandangan Marxis bukanlah keadilan prosedural yang sekadar mematuhi aturan. Keadilan adalah realisasi kondisi sosial di mana tidak ada satu pun individu yang mengalami penderitaan akibat sistem, di mana hak untuk hidup layak tidak dikorbankan demi akumulasi laba, dan di mana hukum benar-benar berdiri untuk manusia, bukan untuk kapital.
Dalam konteks Indonesia, hal ini sangat relevan. Kita hidup dalam negara hukum yang konstitusinya menjamin keadilan sosial (lihat Pasal 33 dan 34 UUD 1945), tetapi dalam praktiknya sering kali hukum hanya berpihak pada mereka yang punya akses terhadap kekuasaan dan uang. Reforma agraria terhambat, korupsi dilembagakan, dan kaum miskin terus dikriminalisasi. Banyak aktivis lingkungan dan hak asasi manusia dibungkam dengan berbagai tuduhan hukum. Maka, menggugat hukum dalam perspektif Marxis bukan sekadar tugas akademik, melainkan kebutuhan politis dan moral.
Penutup ini mengajak kita untuk menyadari bahwa hukum bukanlah entitas sakral yang tak tersentuh kritik. Ia adalah hasil ciptaan manusia, dan karena itu bisa, bahkan harus, dibongkar dan dibangun ulang. Jika hukum hari ini lebih banyak melindungi pemilik modal, maka tugas kita adalah menjadikannya alat pembebasan bagi kaum tertindas.
Sebagaimana Rosa Luxemburg berkata, "Kebebasan hanyalah kebebasan bagi mereka yang berpikir berbeda." Dan kebebasan yang sejati tak mungkin terwujud dalam sistem hukum yang melanggengkan dominasi satu kelas atas yang lain. Maka perjuangan kita bukan hanya menegakkan hukum, tetapi juga memperjuangkan dunia yang lebih adil, dunia di mana keadilan tidak lagi dibatasi oleh batas-batas legalitas, tetapi ditentukan oleh nilai-nilai kemanusiaan yang sejati.
Sebagai penutup terakhir, marilah kita renungkan: selama hukum masih tunduk pada logika kapital, maka kita semua hidup dalam sistem di mana pelaku kejahatan sejati mungkin tidak pernah disidang, dan korban sejati mungkin tidak pernah mendapat keadilan. Dan dalam dunia seperti itu, tidak cukup hanya patuh pada hukum kita harus berani menggugatnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI