Kalimat demi kalimat menyebalkan itu terpaksa gue denger dan telan mentah-mentah. Gue masih sabar dan mencoba mengontrol emosi dengan pergi ke kamar mandi restoran. Di sini gue sendirian menatap cermin sambil bergumam kesal.
"Kenapa? Marah?" tanya seseorang yang tiba-tiba saja masuk ke sini. Siapa lagi kalau bukan laki-laki menyebalkan itu.
"Aku nggak akan pernah membiarkan hubungan kalian berjalan lebih jauh."
"Lo nggak ngerti posisi kita, Bar!" kataku dengan nada tinggi sambil mendorongnya.
"Apa yang nggak aku ngerti? Soal kamu yang terpaksa menikah tapi diam-diam tetap berhubungan dengan sahabat aku?"
Sepertinya Bara memang udah tahu secara detail tentang gue. Tentang cerita bahwa gue lebih dulu kenal dengan Inka dibanding dengan istri gue saat ini. Gue dijodohkan oleh pihak keluarga yang dipaksa menjalankan pernikahan sama seseorang yang nggak gue inginkan.
Waktu itu gue udah bilang sedang dekat dengan seseorang meski cuma berawal dari twitter. Sialnya itu semua sama sekali nggak merubah keputusan keluarga besar untuk menikahkan gue dengan salah satu anak kenalan orang tua.
Semua berjalan cepat. Proses lamaran, hingga dua bulan selanjutnya diadakan pernikahan sakral itu di salah satu gedung mewah ibu kota. Jiwa gue mungkin sepenuhnya udah dimiliki oleh perempuan yang dianggap istri, tapi enggak dengan hati. Sepenuhnya hingga kapanpun cuma ada Inka di cerita ini.
"Dasar brengsek!" kata Bara yang langsung mendorong sampai punggung gue menyentuh tembok. Dia mencengkram keras kerah kemeja gue dengan tatapan penuh amarah. "Harusnya lo bisa pilih salah satu, jangan langsung ambil dua-duanya!"
"Lo pikir mudah bagi gue ngejalanin ini semua, hah?" tanya gue sambil berbalik mendorong dia keras.
"Dan menurut lo juga ini mudah bagi Inka? Yang nggak lo tahu, sejak pernikahan lo dua bulan lalu itu, Inka nggak pernah berhenti nangis setiap cerita ke gue. Lo kenal dia baru setahun, man. Gue hampir 10 tahun! The-damn-10-years. Dan ini adalah patah hati terbesarnya. Paham lo sampai sini?"