Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mencandu Luka

21 Juni 2022   21:10 Diperbarui: 21 Juni 2022   21:22 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

I N K A

Ini pertama kalinya kami bertiga bisa berkumpul pada satu meja yang sama, yang mana pertama kalinya juga untuk Bara bertemu dengan Vano secara langsung. Semua berjalan canggung ketika Vano datang ke restoran bintang lima ini dengan pakaian rapinya. Ia sempat berjabat tangan dengan Bara, tapi sahabatku itu tidak memberikan respons baik dan hanya bicara seadanya.

Aku sudah bilang sebelumnya bahwa Bara harus bisa bersikap ramah ketika Vano datang, tapi nyatanya dia tidak bisa menyembunyikan rasa kesalnya yang jelas terlihat. Semoga saja Vano tak menyadari.

Menu steak dengan jenis daging berbeda menjadi hidangan utama malam ini. Kami menikmatinya tanpa perlu banyak bicara. Sampai ketika saus steak menetes ke kemeja gelap yang dikenakan Vano, dengan refleks aku mengambil tisu, lalu membersihkannya di bagian dada.

"Dunia serasa milik berdua, ya," kata Bara yang duduk di depanku seolah menyindir.

"Eh, sorry, sama sekali nggak ada maksud apa-apa," jawab Vano tak enak hati.

"Gimana Bandung? Ini pertama kalinya kamu ke sini, kan?"

"Bandung tempat yang asyik. Sejuk juga," sekali lagi Vano menjawab santai.

Memang kebetulan pekerjaannya lah yang membawa dia ke sini. Sementara itu Bara dan aku merupakan orang asli Bandung. Hanya saja aku merantau ke Jakarta sejak lulus kuliah, namun Bara tetap tinggal di sini bersama keluarganya.

Sejak awal Bara memang tak menyukai hubunganku dengan Vano. Ia sering kali memarahiku untuk segera menemukan pria yang lebih baik. Tapi aku tak bisa. Vano adalah orang spesial yang membuatku rela menjatuhkan hati. Tak ada yang seperti dia karena memang hanya dia satu-satunya.

"Kamu nggak bisa suka sama seseorang yang hanya kamu kenal dari twitter. Bahkan kalian belum pernah ketemu, lho." Itulah reaksi pertama Bara ketika aku meneleponnya setahun lalu untuk mengabarkan bahwa aku sedang menyukai seseorang.

Tetap saja itu tak berpengaruh pada ceritaku bersama Vano. Karena setelah memutuskan untuk bertemu secara langsung, aku semakin yakin pada pria berkacamata itu. Sampai akhirnya hubungan itu berlanjut lebih dari sekadar teman.

"Terus bagaimana kabar istri di rumah? Sehat?" tanya Bara dengan senyum liciknya yang membuat aku dan Vano membeku.

"Hmmm ya... istriku sehat, kok." Vano terasa mulai tak nyaman dengan pertanyaan ini.

"Udah isi atau belum, nih?" Pertanyaan kedua, mulai kelewat batas.

Aku menendang Bara dari bawah meja sebagai isyarat untuk tetap diam tanpa membahas soal rumah tangganya. Padahal aku sengaja mempertemukan keduanya untuk mengenal satu sama lain, bukan proses menyindir pihak lawan.

"Lho, kenapa kalian jadi tegang begitu? Bukannya memang ini pilihan kalian? Wajar dong kalau aku tanya."

***

V A N O

"Aku nggak nyangka lho, sahabat SMA ku ini sebentar lagi akan jadi pelakor."

Sial. Bara sialan! Udah gue duga laki-laki itu nggak akan suka dengan hubungan yang lagi gue jalani dengan Inka. Dia sama sekali nggak paham sama situasinya.

Kalimat demi kalimat menyebalkan itu terpaksa gue denger dan telan mentah-mentah. Gue masih sabar dan mencoba mengontrol emosi dengan pergi ke kamar mandi restoran. Di sini gue sendirian menatap cermin sambil bergumam kesal.

"Kenapa? Marah?" tanya seseorang yang tiba-tiba saja masuk ke sini. Siapa lagi kalau bukan laki-laki menyebalkan itu.

"Aku nggak akan pernah membiarkan hubungan kalian berjalan lebih jauh."

"Lo nggak ngerti posisi kita, Bar!" kataku dengan nada tinggi sambil mendorongnya.

"Apa yang nggak aku ngerti? Soal kamu yang terpaksa menikah tapi diam-diam tetap berhubungan dengan sahabat aku?"

Sepertinya Bara memang udah tahu secara detail tentang gue. Tentang cerita bahwa gue lebih dulu kenal dengan Inka dibanding dengan istri gue saat ini. Gue dijodohkan oleh pihak keluarga yang dipaksa menjalankan pernikahan sama seseorang yang nggak gue inginkan.

Waktu itu gue udah bilang sedang dekat dengan seseorang meski cuma berawal dari twitter. Sialnya itu semua sama sekali nggak merubah keputusan keluarga besar untuk menikahkan gue dengan salah satu anak kenalan orang tua.

Semua berjalan cepat. Proses lamaran, hingga dua bulan selanjutnya diadakan pernikahan sakral itu di salah satu gedung mewah ibu kota. Jiwa gue mungkin sepenuhnya udah dimiliki oleh perempuan yang dianggap istri, tapi enggak dengan hati. Sepenuhnya hingga kapanpun cuma ada Inka di cerita ini.

"Dasar brengsek!" kata Bara yang langsung mendorong sampai punggung gue menyentuh tembok. Dia mencengkram keras kerah kemeja gue dengan tatapan penuh amarah. "Harusnya lo bisa pilih salah satu, jangan langsung ambil dua-duanya!"

"Lo pikir mudah bagi gue ngejalanin ini semua, hah?" tanya gue sambil berbalik mendorong dia keras.

"Dan menurut lo juga ini mudah bagi Inka? Yang nggak lo tahu, sejak pernikahan lo dua bulan lalu itu, Inka nggak pernah berhenti nangis setiap cerita ke gue. Lo kenal dia baru setahun, man. Gue hampir 10 tahun! The-damn-10-years. Dan ini adalah patah hati terbesarnya. Paham lo sampai sini?"

Gue nggak melawan, masih diam sambil mencerna apa yang dibilang Bara.

"Lo pasti nggak tahu kalau dia sering pulang ke Bandung cuma demi ketemu gue, sahabatnya! Dia nangis di pelukan gue sebegitu histerisnya cuma karena laki-laki asshole yang kini udah beristri. So please, cukup sampai sini aja lo nyakitin sahabat gue."

***

B A R A

Inka adalah 911 pertama yang akan tahu ada masalah apa yang sedang terjadi padaku. Tentang patah hati, masalah keluarga di rumah, hingga urusan pekerjaan yang begitu pelik. Dan ketika tahu bahwa ia masih menjalani hubungan dengan orang yang salah, jelas saja aku tak bisa berdiam diri.

"Izinkan aku untuk ketemu Vano. Ya? Aku harus bicara empat mata sama dia," kataku waktu itu.

Maka pertemuan ini akhirnya terlaksana. Pada akhirnya aku bisa bertemu dengan pria kurang ajar yang selama ini sering membuat Inka menangis.

Ketika berhasil membuatnya tak nyaman di meja makan, aku mengikuti geraknya ke toilet. Rasanya puas sekali di sana aku bisa meluapkan semuanya dan menjelaskan secara rinci tentang hubungan terlarang keduanya.

"Lo cemburu kan sama gue?" tanyanya masih di tempat yang sama. "Selama ini lo suka sama Inka? Ngaku aja!"

Aku hanya tersenyum kecut, lalu memperlihatkan kelima jari sebelah kiri untuk memamerkan sebuah cincin yang terlingkar di sana.

"Gue udah tunangan. Dan jangan pernah samakan kelakuan busuk lo itu dengan kesetiaan gue sama pasangan."

Sepertinya amarah Vano semakin memuncak. Ia mengarahkan kepalan tangannya hingga mendarat di wajah sebelah kiriku. Sedikit sakit memang, tapi bukan berarti aku tak bisa melawan. Aku membalas pukulan itu, bukan di wajah, tapi di perut. Tak kusangka ia langsung tak berdaya hingga tak sanggup lagi berdiri.

"Hei, dengar," kataku menunduk, menyamakan posisi. "Menikahi orang yang kita cintai adalah sebuah harapan. Tapi mencintai orang yang kita nikahi, adalah sebuah keharusan. Camkan itu, dan jadilah suami bertanggung jawab untuk keluargamu."

Kini aku sudah ada di depan rumah Inka untuk mengantarnya pulang. Di sepanjang perjalanan dia sama sekali tak bicara dan memilih menatap jendela mobil melihat lampu jalanan. Aku paham Inka pasti marah padaku karena telah mengacaukan malam ini. Tapi setidaknya tujuan utamaku sudah selesai.

Jika pun ke depannya mereka masih saling berhubungan, itu risiko mereka yang tak ingin aku campuri. Tugasku cukup sampai sini. Dan ketika Inka butuh teman untuk mendnegarkan keluh kesahnya, aku akan tetap ada sampai kapanpun itu.

"Bara..." katanya sebelum turun dari mobil. Aku merespons cepat karena takut ia membutuhkan sesuatu. "Makasih udah bantu aku, termasuk soal malam ini. Mungkin kalau kamu nggak melakukan itu, aku dan Vano akan terjebak selamanya di lingkaran setan ini."

Aku melihat matanya mulai basah seperti menahan tangis. Maka aku membuka lebar pergelangan tangan, memberi tanda bahwa aku siap menjadi pelukannya untuk malam ini.

Benar saja, untuk kesekian kalinya, Inka menangis histeris dalam pelukanku.

Mencandu Luka - Selesai

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun