"Kamu nggak bisa suka sama seseorang yang hanya kamu kenal dari twitter. Bahkan kalian belum pernah ketemu, lho." Itulah reaksi pertama Bara ketika aku meneleponnya setahun lalu untuk mengabarkan bahwa aku sedang menyukai seseorang.
Tetap saja itu tak berpengaruh pada ceritaku bersama Vano. Karena setelah memutuskan untuk bertemu secara langsung, aku semakin yakin pada pria berkacamata itu. Sampai akhirnya hubungan itu berlanjut lebih dari sekadar teman.
"Terus bagaimana kabar istri di rumah? Sehat?" tanya Bara dengan senyum liciknya yang membuat aku dan Vano membeku.
"Hmmm ya... istriku sehat, kok." Vano terasa mulai tak nyaman dengan pertanyaan ini.
"Udah isi atau belum, nih?" Pertanyaan kedua, mulai kelewat batas.
Aku menendang Bara dari bawah meja sebagai isyarat untuk tetap diam tanpa membahas soal rumah tangganya. Padahal aku sengaja mempertemukan keduanya untuk mengenal satu sama lain, bukan proses menyindir pihak lawan.
"Lho, kenapa kalian jadi tegang begitu? Bukannya memang ini pilihan kalian? Wajar dong kalau aku tanya."
***
V A N O
"Aku nggak nyangka lho, sahabat SMA ku ini sebentar lagi akan jadi pelakor."
Sial. Bara sialan! Udah gue duga laki-laki itu nggak akan suka dengan hubungan yang lagi gue jalani dengan Inka. Dia sama sekali nggak paham sama situasinya.