Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Fiksi Horor | Basement Angker Nomor 4

6 September 2019   17:30 Diperbarui: 6 September 2019   17:39 1280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
image by wallpaperplay.com

Orang bilang ada kehidupan lain setelah kematian. Beberapa juga bilang bahwa kehidupan sesungguhnya dimulai ketika kita mati. Kalau ibuku berkata bahwa selain manusia banyak juga makhluk lain yang hidup di sekitar kita namun tidak terlihat kasat mata. Sayangnya Ibu meninggal setahun lalu, meninggalkan cerita mistisnya yang selalu berhasil membuatku ketakutan.

 "Mbak, sepatu yang ini ada ukuran 42?" tanya seorang laki-laki berkacamata yang membuyarkan lamunanku.

"Ada, Mas. Biar saya ambil dulu, ya."

Dengan kaus polo berwarna kuning cerah yang kugunakan setiap bekerja, aku melangkah ke bagian belakang menuju gudang. Di sana aku mengambil sepatu yang diinginkan pelanggan itu. Setelah dia merasa cocok dengan model dan ukuran yang kuberikan, ia melakukan pembayaran. Sepatu itu pun dibawa pulang dengan total penjualanku hari ini yang sudah menyentuh angka 7.

"Takut ya gara-gara aku cerita soal tempat angker di mal ini? Dari tadi ngelamun terus." Bayu, salah satu rekan kerjaku di sini menatapku dengan wajah jahil.


"Maksudnya soal basement berhantu itu? Aku sering denger cerita yang jauh lebih serem. Itu sih nggak ada apa-apanya."

"Tapi Fil, ini serius deh. Basement di sini itu udah jadi tempat angker fenomenal, bahkan pernah masuk berita online."

"Bay, udah ya, sekarang kita fokus kerja aja. Ini juga udah malem. Besok aja lanjutin ceritanya."

Dua jam setelah percakapan tidak penting itu, sudah waktunya toko tutup. Aku, Bayu, dan Sintia yang hari ini kebagian shift 2 mulai beres-beres untuk segera pulang. Bayu dengan sigap membawa helm minions kesayangannya. Sementara bagiku dan Sintia, taslah barang yang tidak boleh ketinggalan.

Di sana beberapa karyawan lain pun sudah mulai menutup tokonya. Aku sempat bertegur sapa dengan beberapa di antaranya, kemudian mulai pergi bersama Sintia menuju lobby utama untuk mencari angkutan umum.

"Shit, aku lupa dong hp ketinggalan di kantin B2. Temenin yuk, Fil," kata perempuan berambut pendek itu.

 "Ya udah, ayo."

Basement nomor 2. Di sanalah kantin yang di maksud Sintia barusan. Kami menggunakan lift dan turun 2 lantai agar cepat sampai. Untungnya penjaga kantin di sana belum pulang. Ponsel Sintia pun sudah diamankan dengan kondisi baik.

Di sana pulalah aku bertemu dengan Bayu, lengkap dengan helm kuning yang masih digenggamnya. Ternyata ia baru dari toilet di basement ini karena toilet di atas sudah ditutup.

Akhirnya kami bertiga bergegas menuju lift untuk segera ke atas. Bayu akan berhenti di Basement nomor 1, tempat motornya disimpan. Sementara tujuanku dan Sintia ada di lantai LG yang dekat dengan ke lobby utama.

Kami memasuki lift di waktu yang bersamaan. Begitu aku hendak menekan tombol B1 dan LG, tombol B4 sudah dalam kondisi menyala di mana pernah ditekan sebelumnya. Aku sedikit kaget, kemudian menatap Bayu dan Sintia bersamaan ketika lift tertutup.

"Kok tombol B4 nyala?" kataku.

"Fili, ini nggak lucu," jawab Bayu dengan wajah serius.

Aku mencoba menekan tombol B1 dan LG, namun sama sekali tidak ada perubahan. Lift tertutup, bergerak pelan ke bawah, yang mana menuju Basement nomor 4.

"Ngapain ke B4, sih?" tanya Sintia panik yang ikut mencoba menekan tombol lain.

Lift berhenti kemudian membuka pintunya dengan perlahan. Di sana, sesuatu mengejutkan kami. Sintia sempat berteriak, namun aku dan Bayu masih bisa cukup tenang meski raut wajah kaget bercampur takut tidak bisa disembunyikan.

Laki-laki berkacamata yang beberapa jam lalu membeli sepatu di toko kini tergeletak tidak berdaya di tempat yang gelap itu. Ada sedikit luka pada wajah dan beberapa bagian tubuhnya. Akhirnya kami bertiga membawanya masuk ke lift, satu-satunya tempat bercahaya di Basement nomor 4 ini.

***

Ada sesuatu yang lebih buruk terjadi. Lift sama sekali tidak bisa digunakan. Pintunya terbuka tanpa mau tertutup meski aku sudah menekan tombol berkali-kali. Untungnya lampu menyala, tapi tetap saja memberikan suasana mencekam ketika melihat ke sekeliling yang gelap gulita.

Danar, laki-laki berkacamata yang sekarang sudah bisa diajak bicara itu kini mulai bercerita. Ia menyimpan kendaraannya di Basement nomor 3, namun lift justru bergerak ke Basement nomor 4. Sama seperti aku, semua tombol sudah ditekan, tapi hasilnya nihil.

"Aku memutuskan keluar dari lift. Suasana sangat gelap sampai akhirnya aku pake flash hp sebagai penerangan. Gak lama setelah itu seperti ada sesuatu menabrak. Hp jatuh. Pas mau ngambil, jutsru aku terhempas bahkan sampai berkali-kali."

"Dan kamu pingsan?" tanya Sintia.

"Begitulah. Aku nggak begitu ingat sampai akhirnya ada kalian di sini."

Kami berempat duduk di tempat yang tidak luas itu sambil memikirkan bagaimana cara keluar dari sini. Satu-satunya tangga darurat yang bisa digunakan pun ada di ujung. Bisa saja kami ke sana dengan waktu tidak lebih dari satu menit. Tapi kejadian Danar barusan serta keadaan gelap gulita ini membuat semuanya sama-sama takut.

"Fil, coba cek sinyal hp kamu deh. Masih kosong?" tanya Bayu yang sudah mengatakan hal ini tiga kali.

"Kalau bisa, dari tadi udah dicoba lah," jawabku ketus.

"Sama sekali nggak ada sinyal di sini. Di B2 aja jaringannya 3G," kata Sintia masih memeluk tubuhnya sendiri sambil menangis. Aku berusaha menenangkan, tapi ia hanya tersenyum paksa. "Kita teriak pun nggak akan ada gunanya."

Dengan kondisi yang belum stabil, Danar bangkit dari duduknya sambil memegang kakinya kanannya yang sakit. Ia melangkah perlahan menuju keluar pintu lift. Otomatis Bayu ikut bangkit dan langsung mencegahnya.

"Ngapain, sih? Satu-satunya tempat yang aman di sini!"

"Dan menunggu lebih dari 7 jam sampai matahari terbit? Kita bahkan nggak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya di sini."

"Aku akan tetap nunggu!" Kali ini Sintia yang bangkit. Ia menatap Bayu dan Danar bergantian. "Kalau di antara kalian ada yang mau pergi dan lewat tangga darurat, silakan. Tapi setelah itu tolong cari bantuan ke sini."

Kini kami berempat saling berdiri dan mengemukakan pendapat masing-masing. Sintia dan Bayu tetap ingin menunggu di sini saja karena menurut mereka ini tempat paling aman untuk saat ini. Sedangkan aku setuju pada Danar. Cepat atau lambat, kami harus segera pergi dan meminta pertolongan.

"Akses lift akan mati setengah jam lagi. Kalian lupa?" tanyaku serius. "Kemungkinan besar lampu ini akan mati, bahkan pintu tertutup sampai besok pagi."

Di tengah perdebatan itu, lagi-lagi sesuatu terjadi. Lampu lift mati, membuat keadaan gelap sampai kami tidak bisa melihat satu sama lain.

***

"Nyalain lampu hp kalian!" Aku tahu itu suara Danar meski tidak melihatnya dalam kegelapan. Dengan sigap aku segera menyalakan flash, begitu pula Bayu.

Dua cahaya flash saling mengarahkan ke sekeliling. Tapi, ada yang kurang. Sintia tidak ada di sana meski telah berkali-kali aku panggil.

"Sintia di mana, Bay? Tadi dia sebelah kamu, kan?" tanyaku panik.

"A-aku juga nggak tahu, Fil."

"FILI, TOLONG AKU!"

Itu Sintia! Suaranya ada di kegelapan sana yang cukup jauh dari tempatku berdiri. Tapi aku sama sekali tidak bisa melihat keberadaannya dengan kondisi minim cahaya seperti ini.

Aku, Danar, dan Bayu melangkah pelan keluar lift. Tangga darurat ada di ujung sana di mana kami harus berjalan, bahkan berlari, secara diagonal. Tapi masalahnya, antara suara Sintia barusan dan lokasi tujuan kami saat ini ada di arah yang berebeda.

"Kalian berdua pergi ke tangga darurat. Biar aku yang cari Sintia," kata Bayu masih memegang helm.

"Kita harus bareng-bareng, Bay!" jawabku tegas.

Dalam kegelapan itu dengan hanya mengandalkan setitik cahaya dari ponsel, Bayu berlari menjauh dariku dan Danar. Aku hendak menyusulnya, namun Danar segera mencegah.

"Benar apa kata dia. Kita ke tangga darurat aja dulu."

Dengan berat hati, aku mengikuti langkah Danar  yang mulai berlari dengan langkah tak sempurna. Secepat mungkin kami melangkah dalam kegelapan mencari tangga darurat. Di tengah pelarian itu, ada seseorang tak berdaya dalam kondisi tengkurap. Aku berhenti dan mengarahkan ponsel ke arahnya hingga menyadari bahwa itu adalah Sintia.

Kami sama-sama kebingungan karena melihat tubuh Sintia yang tiba-tiba ada di sini. Padahal beberapa menit lalu ia berteriak di arah sana, tempat di mana Bayu menyusul untuk menemukannya.

Aku memeriksa sekitar tubuhnya. Ada sebuah luka seperti cakaran yang masih basah pada kedua kakinya. Danar mencoba membangunkan Sintia, tapi tidak ada pergerakan sama sekali dari perempuan itu.

"FILI, PERGI DARI SINI!"

Itu suara Bayu! Aku benar-benar mengenalnya meski secara samar. Apa sesuatu yang buruk sedang terjadi padanya?

"Bayu! Kamu di ma-"

Belum sempat menyelesaikan pertanyaan, sosok Bayu melintas cepat dalam pandanganku yang masih dibantu dengan alat cahaya seadanya. Seperti ada yang mendorongnya dari kejauhan.

"Pergi Fil!" Lagi-lagi suara Bayu. Tapi ketika aku mengarahkan ponsel ke sekeliling, aku tidak bisa menemukannya.

"Nggak ada waktu lagi. Kita harus pergi!"

Danar segera menarik tanganku. Kami terus berlari hingga cahaya lampu ponsel bisa menemukan tangga darurat di sana. Sebentar lagi kami sampai. Kami akan selamat dan meminta bantuan dari luar sana.

Begitu sampai dan hendak menginjakkan kaki pada anak tangga pertama, Danar yang semula memegang tangaku erat, kini melepasnya mendadak. Aku mengarahkan lampu ponsel ke arahnya. Ia melayang dengan kaki yang sama sekali tidak berpijak dengan wajah sangat ketakutan.

Meski dalam gelap, aku bisa melihat ada sesuatu di belakangnya.  Ada satu sosok tinggi dengan jari tangan yang sangat panjang. Sosok itulah yang kini mengangkat tubuh Danar.

Aku terdiam untuk beberapa detik. Mencoba menanangkan diri meski jantung berdetak semakin cepat.

"Fil, pergi..." ucapnya pelan.

Tak lama setelah itu, Danar langsung terlempar hingga tidak terlihat sama sekali olehku. Aku benar-benar takut saat ini dan segera berlari menaiki tangga. Naik dan terus naik dengan keringat yang membasahi tubuh dan wajah.

Ada sesuatu yang tiba-tiba menabrakku hingga ponsel yang kupegang terjatuh. Kini aku benar-benar sendiri dalam kegelapan tanpa cahaya apapun.

Angin bertiup pelan di leher. Aku mematung tanpa gerak dengan perasaan takut. Entahlah, saat itu aku seperti tidak bisa melakukan apa-apa.

Kedua telapak tangan panjang hitam yang tadi sempat kulihat di sosok Danar kini merayap pelan ke dada hingga leher. Aku tidak berani menengok. Sama sekali tidak bisa berbuat sesuatu.

"I...kut.... A...ku."

Leherku tercabik dan mengeluarkan banyak darah setelah mendengar bisikan itu. Aku terjatuh berkali-kali pada anak tangga. Hingga ketika berhenti, aku hanya bisa memandang langit-langit yang gelap gulita.

Sosok itu kembali datang. Telapak tangannya kini meraba bagian leher hingga dada. Tepat di bagian jantung, aku merasa seperti ada yang menusuk begitu dalam. Aku tidak bisa bernapas. Mungkin, aku juga akan mati sekarang.

***

"Takut ya gara-gara aku cerita soal tempat angker di mal ini? Dari tadi ngelamun terus."

Bayu memandangku dengan wajah jahil, tapi ekspresiku sama sekali tidak bersahabat.

"Kenapa, Fil? Kamu takut beneran ya sama cerita basement itu?"

"Cepet ke toilet sekarang!" kataku sedikit membentak.

"Maksudnya?"

"Buang air kecil daripada kamu kebelet pas toko tutup," jawabku mencoba tenang meski masih sedikit panik.

Setelah Bayu yang kebingungan itu pergi dari hadapanku, aku segera mencari Sintia di bagian gudang.

"Sin, hp kamu mana?"

Sintia dengan panik merogoh saku celananya dan menyadari bahwa ponsel miliknya tidak ada.

"Ketinggalan di kantin B2 deh kayaknya."

"Ya udah, makanya ambil sekarang!"

Kini aku sendirian di toko karena Sintia pergi untuk beberapa saat.

Memori menyeramkan itu benar-benar terekam jelas dalam otakku. Sesuatu yang begitu nyata namun sama sekali belum terjadi. Apa ada sesuatu dalam diri ini yang belum aku ketahui?

***

Besoknya di salah satu media cetak mengabarkan bahwa ada seorang laki-laki yang ditemukan tewas di Basement nomor  4. Laki-laki itu bernama Danar yang mana sebelumnya sempat membeli sepatu di toko tempatku bekerja. Beberapa wartawan sempat datang menemuiku, Bayu, dan Sintia untuk meminta sedikit keterangan.

Memang, dari hasil medis menunjukkan bahwa Danar meninggal karena serangan jantung. Tapi luka-luka pada tubuhnya itu sama sekali belum terjawab.

Salah satu wartawan sempat menanyakan soal basement nomor 4 yang katanya angker. Aku tidak bicara banyak dan menyerahkannya pada Sintia dan Bayu yang sudah lebih lama bekerja di sini dibandingkanku.

Mulai hari itu pun aku sadar bahwa aku memiliki sebuah kekuatan khusus. Jika Ibu memiliki pengelihatan untuk melihat mereka yang tak terlihat, kali ini anak sulungnya memiliki pengelihatan untuk masa depan.

Basement Angker Nomor 4 - Belum Selesai

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun