Mungkin memang tidak perlu, karena zaman ini adalah zaman di mana interpretasi bukanlah pencarian makna, tapi perlombaan relevansi pribadi. Semua ingin merasa terwakili, semua ingin merasa relate, dan kalau bisa, semua ingin viral. Cerita tak lagi tentang karakter, konflik, dan penyelesaian. Cerita kini adalah cermin: semakin banyak orang bisa melihat diri mereka di dalamnya, semakin sukses ia dianggap.
Tetapi sastra, dalam pengertian lamanya, tidak selalu bertujuan menyenangkan pembaca. Kadang ia menyakitkan, kadang menjengkelkan, kadang membuat kita ingin membanting buku ke dinding lalu merenung selama tiga hari. Dan fiksi mikro, meskipun kecil dan mungil seperti cucu bayi yang baru lahir, tetap memiliki tanggung jawab yang sama: menggugah.
Bukan hanya menggugah notifikasi, tapi menggugah kesadaran. Yang membedakan sastra dengan slogan iklan adalah niatnya: yang satu ingin membuatmu berpikir, yang satu ingin membuatmu membeli. Dan jika fiksi mikro menjadi terlalu serupa dengan kutipan motivasi atau poster seminar MLM, maka kita punya masalah epistemologis yang serius.
Ada yang bilang bahwa budaya kita sering terlalu terburu-buru dalam memahami sesuatu. Kita lebih senang mengambil simpulan daripada menyelami konteks. Fiksi mikro yang tumbuh dalam ruang digital seringkali menjadi korban dari kebiasaan ini: orang membaca sepenggal kalimat, merasa sudah tahu segalanya, lalu menghakimi. Padahal, barangkali fiksi mikro bukan untuk dimengerti secara langsung, ia seperti semedi pendek: membisu, tapi menggema jauh ke dalam.
Dan betapa lucunya ketika orang-orang yang menuntut kedalaman dalam sastra digital justru adalah mereka yang membuka lima tab sekaligus, memutar lagu lofi hip hop beats to study/relax to, dan membaca cerpen sambil membalas pesan dari bos di WhatsApp grup. Zaman ini bukan zaman kontemplasi, melainkan multitasking spiritual yang membuat kita percaya bahwa kita sedang merenung, padahal sebenarnya hanya sedang menunggu sinyal Wifi stabil kembali.
***
Baca Juga:Â Kubur Tanpa Nama (1)
Saya tidak sedang ingin menyalahkan teknologi. Bahkan saya menulis esai ini di ponsel, sambil mencuri waktu dari tugas memijat punggung istri dan menjerang air untuk kopi saset murahan. Teknologi justru membuka pintu lebar bagi siapa pun yang dulu tak pernah merasa layak menulis.
Anak buruh bisa menulis puisi tentang sepinya lampu malam pabrik. Mahasiswa semester sembilan bisa mengirim cerita patah hati ke platform daring tanpa perlu melalui birokrasi penerbitan yang kadang lebih rumit dari prosedur kawin campur. Sastra digital, dalam bentuk idealnya, adalah demokrasi bahasa. Tapi seperti demokrasi yang lain, ia bisa disalahgunakan. Dan seringkali, yang paling vokal bukan yang paling jujur, tapi yang paling pandai bermain algoritma.
Kita hidup dalam masa di mana keterlibatan emosional dihitung dari jumlah emoji dan repost story. Jika dulu penyair dihargai karena perenungannya yang mendalam tentang absurditas hidup, kini ia dihargai karena bisa merangkai patah hati menjadi konten tiga baris yang bisa dipajang di Instagram Story dengan font italic dan gambar bulan.
Saya tak sedang sinis (saya pun pernah melakukan itu), tapi mari kita akui bahwa kita telah menciptakan dunia di mana fiksi mikro harus bersaing dengan video mukbang dan komedi absurd dari akun-akun konyol yang menertawakan hidup sekaligus untuk ditangisi diam-diam. Dalam medan tempur atensi seperti ini, kata-kata hanya menang jika mampu memikat dalam satu kedipan mata.