Bab 1 - Perempuan yang Tak Menyebut Namanya
Orang-orang di Lenggang Asih tidak pernah benar-benar mempercayai hujan pertama di bulan ketujuh. Mereka bilang, hujan seperti itu hanya datang untuk menghidupkan kembali sesuatu yang seharusnya tidak bangkit. Maka ketika gerimis turun di tengah musim panas yang retak, dan seorang perempuan muda muncul dari belakang kabut dengan koper tua berwarna abu-abu dan langkah yang nyaris tanpa suara, desa itu langsung menggigil dengan cara yang sunyi.
Ia muncul begitu saja di ujung jalan batu yang tak lagi diaspal. Rambutnya terurai, kering seperti alang-alang, wajahnya pucat seperti dinding rumah tua yang tidak pernah dicat lagi. Ia tidak berkata apa-apa. Bahkan ketika tiga anak kecil menatapnya dari bawah pohon kamboja dan satu di antara mereka berani bertanya, "Mbak dari mana?", ia hanya menoleh perlahan, lalu tersenyum. Senyum yang tidak hangat, tapi juga tidak dingin. Senyum seperti embun yang menempel di kaca tanpa niat menetap.
Nenek Suma, satu-satunya perempuan tua yang tinggal di rumah panggung yang masih menyimpan bau tembakau dan kayu manis kering, adalah orang pertama yang mengizinkannya masuk. "Saya tidak peduli kamu siapa," katanya sambil menyodorkan teh dari poci retak. "Selama kamu bisa diam, kamu bisa tinggal." Perempuan itu mengangguk. Ia tidak menjawab. Tidak menanyakan harga sewa. Tidak menyebut nama. Ia hanya membuka kopernya pelan. Dalamnya hanya sehelai gaun putih, segenggam benih bunga kering, dan satu buku catatan kecil tanpa tulisan.
Warga mulai memanggilnya Inggit. Nama itu muncul begitu saja, entah siapa yang memulai, mungkin anak-anak, mungkin Nenek Suma, atau mungkin karena suatu pagi ia terlihat duduk di teras sambil menggumamkan lagu berbahasa asing yang nadanya melengkung seperti tangis yang ditahan.
Lenggang Asih bukan desa yang senang akan hal-hal asing. Tidak seperti kota yang cepat melupakan, desa ini mengingat segalanya, tapi memilih untuk tidak membicarakannya. Mereka tahu siapa yang dulu membakar balai desa pada tahun gelap, siapa yang menghilang di malam hari tanpa jejak, siapa yang tiba-tiba kaya setelah musim jagung gagal total. Tapi semua itu dibungkus rapi dalam diam, dalam kebiasaan yang tak ditanya, dan dalam doa-doa pendek yang ditanam di sela-sela tidur siang.
Inggit tidak menanyakan apa pun. Tapi ia juga tidak seperti orang kebanyakan. Ia tidak pernah ke pasar. Tidak pernah meminta apa pun. Setiap pagi, sebelum ayam jantan sempat tiga kali berkokok, ia keluar rumah dengan langkah tetap dan membawa sebotol air hujan. Ia menuju tanah lapang di ujung desa, hamparan kosong yang tanahnya pecah-pecah seperti luka yang terlalu lama terbuka.
*
Orang-orang menyebut tempat itu Tanah Bisik, bukan karena mereka mendengar sesuatu darinya, melainkan karena tak seorang pun berani berbicara tentangnya. Di masa kecil, anak-anak diberitahu jalan memutar jika ingin ke sungai, agar tidak melewati tanah itu. Beberapa mengatakan dulunya itu ladang singkong, yang gagal panen tiba-tiba setelah malam-malam tertentu terdengar suara orang merintih. Yang lain bilang, itu bekas kuburan yang dikutuk, karena tak satu pun nama pernah dicatatkan. Tetapi seperti halnya gosip di desa-desa yang digerakkan oleh rasa takut, tak satu pun cerita benar-benar lengkap. Hanya rasa gentar yang diwariskan.
Inggit tampaknya tak terganggu oleh legenda itu. Ia melangkah ke tanah retak itu seperti menjejak halaman rumah sendiri. Kakinya nyeker, telapak kakinya kotor seperti akar, tapi langkahnya tetap halus seperti nyanyian yang menolak terdengar. Ia jongkok di tengah retakan tanah, menggeser bebatuan kecil dan menyentuh tanah dengan telapak tangannya. Lama sekali. Kadang ia menempelkan telinganya ke permukaan, seolah mendengar sesuatu yang tidak bisa ditangkap manusia lain. Di hari ketiga, ia mulai menaburkan benih bunga. Gerakannya pelan dan penuh perhatian, seperti ritual pemulihan untuk luka yang tak bisa dijahit.
Beberapa warga memperhatikannya dari kejauhan. Terutama ibu-ibu yang mencuci di sungai. Mereka saling berbisik sambil menyeka sabun dari baju yang sudah tua. "Itu benih apa, ya?" tanya salah satu. "Masa bisa tumbuh di tanah sekeras itu?" sahut yang lain. Tapi tak satu pun yang berani mendekat. Bahkan Pak Tua Warso, pensiunan kepala dusun yang biasa jalan pagi ke arah lapang itu, kini memilih rute lain yang lebih jauh, tapi lebih waras.