***
Baca Juga:Â Kubur Tanpa Nama (2)
Yang paling menyedihkan dari semua ini mungkin bukan pada apa yang kita baca, tapi pada bagaimana kita membacanya. Fiksi mikro, bila dibaca dengan perlahan, bisa jadi seperti doa pendek dari mulut orang yang hatinya remuk: tak banyak kata, tapi sarat getaran. Namun karena kita membacanya sambil menunggu iklan pinjol bisa di-skip, atau sembari melirik notifikasi dari pesanan online, maka cerita itu kehilangan resonansi. Ia menjadi hiasan sementara di etalase digital yang bergerak terlalu cepat. Kita tak sempat mengamini cerita, kita hanya sempat meng-scan dan menggeser.
Dan ada satu tragedi literasi di situ: kita hidup di zaman di mana pembaca lebih bangga mengunggah tangkapan layar cerita yang mereka baca daripada benar-benar tenggelam dalam ceritanya. Di mana label penulis bisa dibeli dengan satu akun Wattpad dan keberanian mencuri dua jam waktu tidur. Di mana puisi menjadi caption produk skincare dan cerpen berubah jadi strategi pemasaran kopi. Bukan berarti semua itu buruk, sepuh mungkin tersenyum dan bilang, "Ya sudahlah, wong zaman memang berubah", tapi tetap ada kegelisahan yang perlu dicatat, dituliskan, sebelum hilang ditelan algoritma.
Dan ketika kita bicara algoritma, ia tahu kapan kamu sedih, tahu pukul berapa kamu rentan membaca cerita patah hati, dan tahu persis gaya bahasa seperti apa yang akan membuatmu berhenti scrolling. (Ia bahkan tahu kamu sedang bokek dan tiba-tiba muncul iklan pinjol). Ia tidak peduli apakah cerita itu sungguh menyentuh, yang penting ia bisa menjangkau.
Maka kita pun mulai menulis untuk menyenangkan algoritma. Kita menyesuaikan panjang kalimat, memilih diksi yang SEO-friendly, bahkan belajar kapan waktu terbaik mengunggah cerpen agar lebih banyak tampil di explore page. Perlahan-lahan, kita bergeser dari penulis menjadi pengatur strategi, seperti petani yang harus menanam bukan sesuai musim, tapi sesuai tren cuaca di aplikasi prakiraan.
Ini semua mungkin terdengar pahit, tapi mari jujur. Kita semua terlibat. Bahkan esai ini, yang Bung dan Non baca sekarang, mungkin nanti saya unggah dalam format karosel Instagram agar "lebih bisa dibaca." Saya juga terjebak, dan barangkali itulah bentuk kejujuran paling hakiki di zaman ini: mengakui bahwa kita sedang belajar mencintai sastra dalam bentuk yang tak lagi suci.
Kita tak lagi menulis di kamar sunyi sambil mendengar musik keroncong dari dalam perut sendiri, kita menulis di tengah notifikasi. Kita tak lagi membaca dengan aroma buku, kita membaca di sela-sela sinyal melemah.
Namun justru di tengah semua kebisingan itu, saya percaya fiksi mikro masih bisa jadi suluk kecil. Sebuah jalan sunyi yang tersembunyi di antara ribuan reels. Ia seperti orang tua yang diam-diam menyelipkan doa di saku baju anaknya tanpa perlu diumbar. Cerita pendek yang tidak minta dikomentari. Hanya ingin hadir, menemani, lalu lenyap dengan tenang. Karena kadang, yang paling mikro adalah yang paling manusiawi.
Saya pernah membaca satu microfiction yang hanya terdiri dari dua kata: "Pulang, sendiri." Tidak ada subjek, tidak ada keterangan waktu, bahkan tidak ada alur dalam pengertian konvensional. Tapi entah kenapa, dua kata itu menempel di kepala saya selama seminggu. Saya membacanya di antara notifikasi promo ongkir dan berita seleb X baru cerai.
Di dunia yang menuntut sensasi, dua kata itu justru menjadi semacam jeda. Jeda yang membuat saya kembali mengingat: dulu sastra bukan perkara hiburan, tapi penghentian,nia menghentikan kita dari kebiasaan terburu-buru, dari hidup yang hanya ingin selesai. Dan dalam dua kata itu, saya merasa seperti menemukan sisa dari dunia yang dulu: lambat, lirih, dan jujur.