Mohon tunggu...
Gilang Ramadhan
Gilang Ramadhan Mohon Tunggu... Bachelor of Education in Indonesian Language and Literature

Menulis karena dunia terlalu serius untuk ditanggapi tanpa satire dan terlalu getir untuk ditinggal diam.

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Sastra Digital, Microfiction, dan Dunia yang Terlalu Cepat

5 Juli 2025   06:10 Diperbarui: 9 Juli 2025   17:51 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sastra Digital, Microfiction dan Dunia yang Terlalu Cepat. Sumber: Freepik.com/Freepik

Di situlah saya mulai rindu pada kesunyian. Pada halaman kosong yang tak mengingatkanmu untuk menyimpan otomatis setiap dua menit. Pada jeda di antara dua kalimat yang tidak harus diisi dengan efek suara atau lagu latar. Saya rindu pada cerita pendek yang membutuhkan waktu lama untuk dipahami. Yang tak langsung viral. Yang bahkan bisa saja tidak disukai. Karena keindahan sejati tidak selalu instan. Kadang ia muncul pelan-pelan, seperti aroma kopi yang baru diseduh: tak menyentak, tapi menenangkan.

Dan mungkin beginilah seharusnya fiksi mikro: bukan semata ringkas, tapi menyimpan gema yang panjang. Bukan sekadar punchline, tapi pertanyaan yang menggantung. Bukan hanya bisa dibagikan, tapi juga bisa diam-diam ditangisi tanpa perlu komentar atau tanda suka. Dalam dunia yang semakin keras suaranya, sastra (termasuk yang mikro), harusnya tetap menyisakan ruang sunyi.

Tapi kita juga tak bisa memaksakan romantisme masa lalu pada zaman yang berubah. Microfiction bukan pengkhianatan terhadap sastra panjang; ia hanyalah bentuk baru, seperti haiku yang lahir dari kebutuhan menyingkat kesunyian jadi tiga baris. Yang penting bukan panjangnya, tapi niatnya. Yang menentukan bukan jumlah karakter, tapi kedalaman jiwa yang menggerakkan karakter itu ditulis. Sama seperti kita tak bisa menilai doa dari lamanya dibaca, kita pun tak bisa mengukur cerita dari jumlah katanya. Tapi kita bisa merasakan: apakah ia tulus?

Tentu, kita boleh sinis sebentar. Ada banyak fiksi mikro yang lebih pantas disebut sebagai status galau dengan gaya bahasa menye-menye: "Aku dan dia adalah dua titik yang dijahit takdir, tapi benangnya putus sebelum senja." Kalimat seperti ini, walaupun tampaknya dalam dan menggugah emosi, sebenarnya seperti kopi sachet tiga-in-satu: manis, cepat jadi, dan penuh gula buatan.

Tapi di saat yang sama, siapa yang berhak mengatur rasa sakit seseorang harus dituangkan lewat medium apa? Mungkin bagi penulisnya, kalimat itu lahir dari luka yang tulus, meski hasilnya lebih mirip lirik lagu lawas yang gagal rilis. Di sinilah kita berada di wilayah abu-abu antara estetika dan empati, antara karya dan curhat, antara seni dan siasat algoritma.

Ada satu pergeseran yang sangat halus tapi terasa menyengat di dunia sastra digital: intimasi yang semu. Pembaca merasa dekat dengan penulis karena bisa langsung menyukai, mengomentari, dan membagikan tulisan. Tapi kedekatan itu lebih mirip dengan hubungan penumpang KRL saat jam pulang kerja: berimpitan, saling menyentuh, tapi tak ada yang benar-benar kenal satu sama lain. 

Dulu, untuk mengapresiasi cerpen, seseorang harus duduk tenang, membuka majalah dan buku-buku teori, meresapi setiap kalimat, lalu menunggu seminggu atau sebulan untuk tahu tanggapan pembaca lain. Sekarang, semua berlangsung dalam 3 detik: baca, like, geser. Dan dalam sistem seperti ini, apakah kita masih bisa membedakan antara "cerita" dan "caption yang terlalu panjang"?

Saya teringat teman ketika ditanya mengapa ia masih terus bercerita tentang hal-hal yang tampaknya remeh, seperti pertemuannya dengan pedagang sate keliling atau pengalaman nyasar ke kampung yang tidak ada di peta. Jawabannya sederhana: "Karena yang remeh-remeh itu sering kali lebih jujur." Barangkali dalam konteks sastra digital, fiksi mikro justru punya potensi besar: ia bisa menangkap yang luput.

Ia bisa menjadi catatan kaki dari sejarah besar yang sering kali terlalu sibuk mencatat pejabat dan peristiwa penting. Cerita tentang ibu yang diam-diam menangis saat anaknya belajar daring pakai HP jadul; atau tentang sopir ojol yang mengantar mantan kekasih tanpa disadari: itu semua adalah mikro yang justru menyimpan makro kehidupan.

Tetapi pertanyaan pentingnya tetap harus diajukan: Apakah kita menulis untuk mengingatkan, atau hanya untuk menampakkan? Dunia digital menyukai yang instan, yang viral, yang bisa dipotong-potong untuk dijadikan konten baru. Kita terjebak dalam ekonomi perhatian, dan fiksi mikro, kalau tidak hati-hati, bisa menjadi korban industrinya sendiri.

Seperti kata orang bijak zaman dulu: apa pun yang terlalu sering dibagikan, lama-lama kehilangan sakralitasnya. Dan saya khawatir, dalam arus deras yang penuh banjir teks pendek ini, kita malah kehilangan kemampuan untuk tenggelam. Kita hanya bisa membasahi kaki, tapi tak pernah benar-benar masuk ke dalam samudra bahasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun