1. Bayang di Antara Dua Maghrib
Ia duduk sendiri di ruang yang belum sepenuhnya gelap. Maghrib baru saja pergi, tapi tak benar-benar hilang. Di dinding, bayangannya berlipat dua. Seperti waktu yang belum memilih: maju atau kembali.
Ada desir angin dari jendela setengah terbuka, mengangkat ujung sajadah tanpa suara. Di sana, ia merasa tubuhnya hadir tapi tak menjejak. Doa-doa yang ia baca pelan, setengah hafal, setengah ragu: berlayar seperti kapal kecil di telaga yang terlalu tenang.
Apa yang berubah dari hari ini? Hanya angka? Hanya tanggal? Atau mungkin ada sesuatu yang bergeser diam-diam di dalam, seperti luka yang memilih sembuh tanpa ia sadari?
Ia tak tahu.
Tapi dalam sepi itulah, ia belajar mendengar detak paling lirih dari hidup: detak yang tak dicatat kalender, tapi tumbuh di antara dua maghrib, seperti akar yang bergerak dalam gelap.
2. Langit yang Belum Turun Sepenuhnya
Ia berdiri lama di beranda rumah. Di atas sana, langit masih menggantung, belum benar-benar turun, seperti tirai yang enggan ditutup. Malam satu Muharram datang pelan-pelan, membawa hawa yang tidak dingin, tapi juga bukan hangat.
Dari kejauhan, azan sayup menyentuh ujung genting. Tapi yang lebih keras justru diamnya langit. Seolah malam ini bukan tentang merayakan, melainkan mendengarkan. Dan yang harus didengar bukan suara, melainkan jeda.
Baca Juga:Â Garis Air di Cermin
Ia merasa ada yang sedang memandangnya dari balik langit itu. Bukan Tuhan. Mungkin hanya dirinya sendiri, yang lama tak ia kenali, tapi tiba-tiba muncul seperti bintik cahaya di balik awan.
Malam ini, ia tidak meminta apa-apa. Hanya berdiri. Hanya diam.