Mohon tunggu...
Gia Safitri
Gia Safitri Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Seorang siswi SMA yang gemar merangkai kata. Pemimpi yang handal, serta pemalas sejati. Banyak hal yang ingin dicapai, tetapi enggan memulai.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Penyintas Depresi

8 Agustus 2022   22:33 Diperbarui: 9 Agustus 2022   10:33 4848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mungkin aku bisa mengatakan pada diriku sendiri dan membuat orang lain percaya bahwa luka akan sembuh bersama dengan waktu yang berlalu. Namun, sulit sekali untuk mempercayai hal itu ketika badai sedang berusaha meluluhlantakkan kehidupanku yang semula terasa menyenangkan. Bagaimana caranya aku meyakini?

Aku hanya ingin hidup tenang, seperti orang-orang! Namun, kapan itu terjadi? Kapan?

Tiga tahun lebih aku mencoba bertahan tanpa sekalipun meminta mereka berhenti menorehkan luka, menahan sakitnya sendirian, memendam lara ditengah kebisuan. Akan tetapi, seperti kesabaran ada batasnya, begitu pula usaha untuk menyembuhkan luka. Kala itu aku mengaku kalah. Aku memilih menyerah pada takdir yang tak pernah berlaku baik kepadaku.

Aku sadar, diriku tak sekuat itu menahannya sendirian. Dadaku sesak, seluruh tubuhku remuk redam, kepalaku berdenyut amat nyeri, rasanya semuanya akan berakhir beberapa detik lagi. Tubuhku lelah, mentalku terganggu, hingga untuk pertama kalinya, kucoba mengakhiri hidupku. Berharap semua akan menjadi lebih baik setelah kepergianku.

Sayangnya seluruh usahaku mengakhiri hidup telah sia-sia. Mereka menemukanku terkapar tak berdaya setelah aku hampir memotong nadiku sendiri. Mereka masuk, memelukku, menatapku dengan penuh rasa iba, lalu menenangkanku dengan kata-kata yang berlawanan dengan fakta.

Aku yang tidak bisa berpikir jernih saat itu hanya mampu menangis, entah menangisi apa. Air mata yang tak pernah mau berhenti di sepanjang malam itu. Kurasa waktu tengah senang bermain denganku. Rasanya amat perih, lelah, seluruh tubuhku sangat sakit, sampai satu malam penuh hanya kuhabiskan untuk meringis dan menangis.

Siapa yang tau itu?

Pada hari berikutnya, salah seorang dari mereka membawaku ke sebuah tempat yang amat kubenci. Tempat yang selama empat bulan berikutnya rutin kudatangi. Tempat yang terkadang memberi rasa aman, tetapi lebih banyak rasa takut yang menetap. Di tempat itu, pada seorang wanita berjas putih, aku dinyatakan depresi.

Meskipun sudah menduga sejak lama, tetap saja rasanya sulit diterima. Aku menolak mengenai keadaanku di minggu pertama. Kuyakinkan diriku, bahwa aku masih baik-baik saja. "Aku hanya butuh waktu beberapa hari untuk pulih, tidak perlu berlebihan!" seruku pada mereka.

Namun, rasa sakit yang teramat sangat kurasakan, memaksaku untuk mengakui bahwa aku memang tidak baik-baik saja. Aku sakit dan memerlukan penanganan medis. Masa-masa penerimaan mengenai keadaanku, kulalui dengan penuh gejolak dalam diri.

Hidupku terasa hampa, seluruh minatku hilang dalam sekejap. Hobiku menulis cerita fiksi berubah menjadi beban yang teramat berat. Semua makanan yang disajikan di atas meja terasa hambar, membuat nafsu makanku hilang seketika. Pil antidepresan yang harus kutelan setiap malam, tak terlewat menambah siksaan duniaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun