Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen: Penyintas Depresi

8 Agustus 2022   22:33 Diperbarui: 9 Agustus 2022   10:33 4848 6
Detik ini, suasana begitu dingin menggelitik. Menembus kulit, hingga tulang pun ikut serta merasakan ngilu akibat cuaca yang tak menentu. Hembusan angin membawa tangan saling berpelukan, menenangkan diri dalam sepinya malam. Menggigil, hingga membawa suara gemeletuk yang nyaring. Tanpa selimut atau sekedar sentuhan yang menghangatkan, aku terduduk dalam kesendirian. Pada ruangan sepetak yang jauh dari kata layak.

Pikiranku berkelana, teringat akan masa-masa yang tak tenang. Masa-masa yang tak ingin kulupakan sepenuhnya, meskipun begitu menyakitkan. Karena masa-masa itu telah menjadi sejarah dalam hidupku. Ya, sebuah kenangan yang mengajarkanku arti bidup yang sesungguhnya serta sebuah perjuangan yang tidak akan pernah berakhir sia-sia.

Desember 2017, semuanya bermula. Kata-kata yang setiap detik terlempar, perlakuan-perlakuan tak berperikemanusiaan, hal-hal yang tak disangka-sangka akan terjadi padaku; seolah melemparku begitu jauh dalam jurang curam. Menyakitiku tanpa henti, apalagi dengan rasa belas kasihan. Menghancurkanku secara perlahan, hingga menjadi kepingan-kepingan yang tak akan pernah bisa  utuh lagi.

Sayangnya, gadis sok kuat sepertiku yang tidak pernah mau terlihat lemah, memilih menyimpannya sendiri. Menutupi luka-luka itu dengan senyum yang senantiasa kuukir ditengah suramnya jiwaku. Memilih tidak bercerita kepada siapa-siapa yang bertanya.

"Bagaimana kabarmu hari ini?"

"Baik," jawabku selalu.

Tidak! Aku sama sekali tidak berniat untuk berbohong, tetapi aku takut kebahagiaan mereka hilang karena cerita-cerita menyedihkan dariku, yang mungkin akan memaksa mereka mengubah sikapnya menjadi lebih baik kepadaku. Lalu, yang terjadi berikutnya hanyalah sebuah kepalsuan.

Berpura-pura itu menyakitkan, seperti luka  yang ditekan untuk tidak terlihat oleh mata. Maka dari itu, aku tidak ingin mereka merasakannya. Aku lebih memilih menyakiti diriku sendiri dengan topeng yang kukenakan, agar mereka bahagia.

Ya. Agar mereka bahagia.

Kucoba turut merasakan apa yang mereka rasakan, sebuah kebahagiaan. Namun, bagaimana bisa diri ini bahagia disaat luka-luka itu tak kunjung pulih, bahkan semakin menjadi seiring berjalannya waktu. Lontaran yang kian mencaci maki serta perlakuan yang lebih terasa seperti memperbudak, tidak pernah sekalipun berhenti.

Semua orang bilang, "Semua akan indah pada waktunya." Tapi, kapan?  Nyatanya yang katanya akan indah pada waktunya itu, bahkan menjadi lebih buruk.

Mungkin aku bisa mengatakan pada diriku sendiri dan membuat orang lain percaya bahwa luka akan sembuh bersama dengan waktu yang berlalu. Namun, sulit sekali untuk mempercayai hal itu ketika badai sedang berusaha meluluhlantakkan kehidupanku yang semula terasa menyenangkan. Bagaimana caranya aku meyakini?

Aku hanya ingin hidup tenang, seperti orang-orang! Namun, kapan itu terjadi? Kapan?

Tiga tahun lebih aku mencoba bertahan tanpa sekalipun meminta mereka berhenti menorehkan luka, menahan sakitnya sendirian, memendam lara ditengah kebisuan. Akan tetapi, seperti kesabaran ada batasnya, begitu pula usaha untuk menyembuhkan luka. Kala itu aku mengaku kalah. Aku memilih menyerah pada takdir yang tak pernah berlaku baik kepadaku.

Aku sadar, diriku tak sekuat itu menahannya sendirian. Dadaku sesak, seluruh tubuhku remuk redam, kepalaku berdenyut amat nyeri, rasanya semuanya akan berakhir beberapa detik lagi. Tubuhku lelah, mentalku terganggu, hingga untuk pertama kalinya, kucoba mengakhiri hidupku. Berharap semua akan menjadi lebih baik setelah kepergianku.

Sayangnya seluruh usahaku mengakhiri hidup telah sia-sia. Mereka menemukanku terkapar tak berdaya setelah aku hampir memotong nadiku sendiri. Mereka masuk, memelukku, menatapku dengan penuh rasa iba, lalu menenangkanku dengan kata-kata yang berlawanan dengan fakta.

Aku yang tidak bisa berpikir jernih saat itu hanya mampu menangis, entah menangisi apa. Air mata yang tak pernah mau berhenti di sepanjang malam itu. Kurasa waktu tengah senang bermain denganku. Rasanya amat perih, lelah, seluruh tubuhku sangat sakit, sampai satu malam penuh hanya kuhabiskan untuk meringis dan menangis.

Siapa yang tau itu?

Pada hari berikutnya, salah seorang dari mereka membawaku ke sebuah tempat yang amat kubenci. Tempat yang selama empat bulan berikutnya rutin kudatangi. Tempat yang terkadang memberi rasa aman, tetapi lebih banyak rasa takut yang menetap. Di tempat itu, pada seorang wanita berjas putih, aku dinyatakan depresi.

Meskipun sudah menduga sejak lama, tetap saja rasanya sulit diterima. Aku menolak mengenai keadaanku di minggu pertama. Kuyakinkan diriku, bahwa aku masih baik-baik saja. "Aku hanya butuh waktu beberapa hari untuk pulih, tidak perlu berlebihan!" seruku pada mereka.

Namun, rasa sakit yang teramat sangat kurasakan, memaksaku untuk mengakui bahwa aku memang tidak baik-baik saja. Aku sakit dan memerlukan penanganan medis. Masa-masa penerimaan mengenai keadaanku, kulalui dengan penuh gejolak dalam diri.

Hidupku terasa hampa, seluruh minatku hilang dalam sekejap. Hobiku menulis cerita fiksi berubah menjadi beban yang teramat berat. Semua makanan yang disajikan di atas meja terasa hambar, membuat nafsu makanku hilang seketika. Pil antidepresan yang harus kutelan setiap malam, tak terlewat menambah siksaan duniaku.

Beberapa orang datang dengan tulus untuk merangkulku melalui hari-hari beratku. Namun, tak sedikit pula yang mencibir dan menganggapku gila. Aku tak peduli dengan mereka, yang aku pedulikan hanya ingin keluar dari zona yang melelahkan ini.

Setelah dua kali mengikuti konseling dan puluhan butir pil masuk ke tubuhku, aku mulai menemukannya. Keinginanku untuk sembuh mulai muncul. Di tambah kehadiran seseorang yang terus mendorongku, menguatkanku, dan memberikan motivasi-motivasi penyemangat kepadaku, memperkuat inginku.

Aku mulai menerima diriku sekarang. Meskipun berat dan sangat melelahkan, kuikuti semua saran. Meskipun butuh waktu, perlahan emosiku mulai terkontrol. Butiran obat yang kuminum setiap malam mulai menunjukkan reaksinya. Berangsur-angsur keadaanku membaik.

"Pulih itu butuh waktu," kata seseorang mencoba menguatkan.

Namun, untuk sembuh dari depresi yang kualami, ternyata tidak semudah itu. Terkadang, masih saja ada hal yang membuatku terpuruk. Membuatku kembali jatuh sedalam-dalamnya hingga hampir tak bisa kembali berpijak.

Berkali-kali ingin menyerah pada takdir yang diperuntukkan untukku. Aku merasa Tuhan tidak pernah adil, selalu saja penderitaan yang kudapat. Akan tetapi, bukankah itu yang namanya hidup?

Meski lelah menghadapi, jatuh bangun untuk kembali seperti sedia kala. Aku berusaha menjadikan semua sebagai pelajaran yang menguatkan. Hidup memang penuh dengan ujian yang menyulitkan, tetapi akhirat lebih menyeramkan.

Sebuah sentuhan mengejutkanku, menyadarkan dari lamunan perihal masa lalu. Dia, ibuku yang tersenyum penuh kasih. Satu-satunya orang yang tidak pernah malu memiliki anak sepertiku. Beliaulah yang merawatku, membantuku keluar dari lubang kesakitan yang mereka ciptakan. Menarikku dalam dekapannya yang seolah menjadi penawar dari segala resah dan gundah.

"Kamu gadis yang kuat, Ra. Ibu tau semua itu tidak mudah untuk dihadapi, tetapi pada akhirnya kamu mampu, kan?"

Sepanjang hidupku kala itu memang yang terburuk. Aku benar-benar ada di titik terendah, bahkan untuk bertahan hidup pun rasanya mustahil. Entah bagaimana caranya Tuhan menguatkanku hingga bisa bernapas sampai detik ini. Aku tahu itu kuasanya yang tidak akan pernah bisa dipahami oleh manusia.

Terima kasih untukku yang mau bertahan hingga kini. Memang benar, sembuh itu butuh waktu. I proud of my self.


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun