Mohon tunggu...
Humaniora

Tanggapan Artikel "Menyikapi Klaim Sumbar dan Jambi tentang Gunung Kerinci" oleh Hafiful Hadi

20 Februari 2018   08:59 Diperbarui: 20 Februari 2018   09:53 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ceritera Negeri Jambi

1 (+) 11 pp.; Dutch laid paper; wm. Pro Patria with G H K; 33 x 20 cm.; 28 lines per p.; legible writing; copied in two different hands; written by Demang Khidar. The text, pp. 1-10, begins with the sultan who passes away at Tabuah; he has three children, the father of Raden Muhammad Kasim (the elder), Raden Rangga, the father of Raden Tabun, and the father of the present sultan, Raden Danting, later to become Pangeran Ratu Marta Ningrat; the dead sultan is succeeded by the father of Raden Muhammad Kasim and after his death Jambi is ruled by Pangeran Ragu Marta Ningrat and Raden Rangga; Raden Rangga and Pangeran Ratu Marta Ningrat leave for Tanjung Samalido where Pangeran Ratu is installed as ruler of Jambi by the Yang Dipertuan of Pagaruyung, with the title Sultan Mahmud Muhiyuddin; when the Sultan returns to Jambi, Raden Rangga stays behind at Tujuh Kota, disappointed that he as the elder son has not become ruler; with his followers he goes downstream to Muara Tabuh and from there to Johor and Riau,at the time these countries are at war with the Dutch; getting no support Raden Rangga returns to Jambi and remains at Sembilan Kota where he marries and has a son, Raden Tabun; traders going upstream are held up at Muara Tabuh; there is an uprising against Sultan Mahmud because his consort is cruel to good-looking girls; the sultan seeks support from Raden Rangga, with the promise that when his son becomes ruler, Raden Rangga's son will be Pangeran Ratu; the power of the Sultan is restored without a struggle but he forgets his promise; Raden Rangga dies and his followers now back Raden Tabun; Pangeran Ratu and his brother, Pangeran Perabu, sail to Lingga and on their return they go upstream to meet the Yang Dipertuan of Pagaruyung where they learn that the latter has been attacked by the Padry, the Minangkabau ruler is now supported by pangeran ratu, pangeran perabu and Raden Tabun; when they gain victory they are installed respectively as sultan, pangeran ratu and panglima besar; Raden Tabun reminds the sultan of his father's promise that he will be pangeran ratu which is denied by the sultan; later on Raden Tabun is named Dipati Kerta Menggala and marries the sultan's sister, Ratu Emas Piah; now Raden Tabun is not allowed to return to his wife he has earlier married upstream; the sultan in his turn marries a sister of Raden Tabun, Ratu Mas Seri Kemala, on condition that she will become Ratu Agung, but after a while she is neglected because the ruler is scared of his other wife, Tuan Gadis; dissatisfied with this situation, Pangeran Dipati is planning to trade to the Straits of Singapore; Demang Khidar, author of this composition, is dispatched by the Resident of Palembang to collect the price of salt from the sultan and pangeran pati and learns about the situation from the Petor l.m.l.i.t.; the sultan allows the revenue of Muara Kumpai to be used by Pangeran Dipati to pay the Resident; now the Sultan is installed according to the old ceremony; Raden Muhammad Kasim is now given the title Pangeran Kerta Negara and other princes also receive the title pangeran', from this point on the author gives dates"

Ket : KITLV Or. 71
Ket : KITLV Or. 71
Saya tidak akan membahas panjang lebar hal di atas, mengingat hal ini hanya beririsan saja dengan topik yang sedang dibahas dan tidak bersinggungan pula secara langsung. Saya berpendapat watas-watas Minangkabau yang hanya sampai kepada Tanjung Simalidu di hilir adalah akibat dari permasalahan yang disinggung di atas. Pendapat saudara penulis yang hanya mengatakan "menyerahkan rakyat" bukan "wilayah" hanyalah sebuah hipotesa penulis saja tanpa disertai pula dengan fakta-fakta dan sumber-sumber pendukung. 

Pada tulisan saya yang sebelumnya saya sampaikan bahwa dalam beberapa Tambo Minangkabau dituliskan informasi sebagai berikut ""Laras Koto Piliang iyalah sehingga Tanjung Padang Mudik, hinggak guguk sikaladi mudik, hingga lawik nan sedidih, hingga gunung berapi hilir." Apa tidak apa jika saya pakai pula interpretasi saudara Hafiful ini dengan satu naskah Tambo Minangkabau ini sehingga akan terbaca bahwa "kehilirnya" gunung berapi ini juga adalah wilayah Minangkabau dalam hal ini laras koto piliang. Apa seandainya begini tidak jadi masalah baru dan banyak yang protes dan kebakaran jenggot ?   

Kesimpulan saya, interpretasi saya atas pemberian istilah gunung berapi hilir adalah untuk membedakan pada dua nama buah gunung yang sama-sama dianggap sebagai gunung berapi yakni satunya di mudik, tempat dimana sebagian leluhur masyarakat Kerinci sendiri berasal yakni Gunung Marapi/Barapi (Pariyangan Padang Panjang) dengan replika bukit siguntang-guntangnya yang hanya sebesar kuburan. Satunya dihilir, tempat yang menjadi hulu dari wilayah sembilan lurah  dan dianggap keramat, yakni gunung kerinci sekarang. 

Menyoal kata "tersekut" dalam TK 173 yang oleh saudara penulis dikatakan bahwa tidak terdapat pula pengertianya dalam KBBI. Saudara penulis berpendapat bahwa istilah "sekut" dimaknai menyeluruh. Menurut saya, naskah ini jelas tidak dibuat di kerinci melainkan dikeluarkan dari keraton tanah jambi yang mengikut pula kepada standar bahasa melayu lama. Sebagaimana lazimnya diketahui istilah "tasakuik" di Minangkabau atau secara lazim pula diketahui dalam perbendaharaan melayu klasik sebagai "tersekut di kerongkongan" maka tampak jelas bahwa arti dari tersebut adalah sesuatu yang tertahan/tertumbuk/tertumpu kepada gunung berapi. Tidak pula ianya dibaca tersekut (terseluruh) sebagaiamana kata "sekut" dalam bahasa kerinci tersebut. 

Hemat saya, penulis terlalu memaksakan pemaknaan "tersekut" sebagai sesuatu yang bermakna "terseluruh". Imbuhan -ter sebagaimana dijelaskan dalam "baca" bermakna menjelaskan suatu keadaan dalam konteks pembicaraan kita bermakna sesuatu yang dalam keadaanya tertahan di gunung berapi imbuhan -ter ini jelas tidak cocok jika di maknakan sebagai sesuatu yang menyeluruh. 

Oleh karena itu, sebagai kesimpulan bahwa status ulayat tanah sekudung itu hanya tertahan sampai ke jurai gunung berapi tidak pula melompat melewati gunung tersebut. Lagipula, jika mengambil sumber-sumber yang ada dikutip saudara penulis sendiri jelas dikatakan dalam TK 169 bahwa wilayah tanah sekudung itu "Adapun pebatasannya dengan Yang Petuan Meraja Bungsu Gunung  Berapi". T

ampak jelas kata gunung berapi dihubungkan dengan yang pertuan maraja bungsu sebagaimana pada pendapat saya bahwa salah satu jurai dari gunung tersebut adalah ulayat dari maharaja bungsu dari rantau xii koto. JIka Rantau XII Koto tidak berulayat di gunung berapi maka perkataan "Adapun pebatasannya dengan Yang Petuan Meraja Bungsu Gunung  Berapi" itu sama sekali tidak diperlukan dan tidak relevan dengan maksud celak piagam tersebut serta sehrusnya ditulis "Adapun pebatasannya dengan Yang Petuan Meraja Bungsu Lubuk Gadang dst".

B. Persoalan Rantau XII Koto dan Sungai Pagu

Saudara penulis pada tanggapanya mengenai Sungai Pagu dan Rantau XII Koto menulis sebagai berikut :  "Rantau XII Koto memang tidak familiar dalam telinga masyarakat adat Kerinci, sehingga batas-batas di Utara Wilayah Kerinci selalu disebutkan berwatas dengan Yang dipatuan Marajo Bungsu Bagumbak Putih Bajanggut Merah diam (berkedudukan) di Lekuk (lembah) Sungai Pagu, naskah TK 161 juga memuat gelar Yang Dipatuan Marajo Bungsu namun tidak menyebutkan tempat kediaman/kedudukannya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun