Mohon tunggu...
Humaniora

Tanggapan Artikel "Menyikapi Klaim Sumbar dan Jambi tentang Gunung Kerinci" oleh Hafiful Hadi

20 Februari 2018   08:59 Diperbarui: 20 Februari 2018   09:53 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hubaya2 jangan dilalui seperti yang di dalam cap piagam ini. Dan barang siapa melalui perintah dalam piagam ini atau beraja hitam beraja putih kena kutuk Pangeran Temenggung kebul di bukit, tiang rumahnya ke atas, bubungannya ke bawah. Demikian lagi sudah lama sumpah ini, barang siapa menyuri....................menyembunyikan kato rajo yaitu emas jatah jati serupa (?) pelak (?) indah taring mustiko, itulah larangan (?) dari Sultan dan Pangeran. Intaha tammat alkalam." Dari Naskah TK 171 tersebut, jika dibaca secara keseluruhan berulang kali maka saya tetap menginterpretasikan kata "Gunung Berapi Hilir" tersebut tetaplah sebagai sebuah kesatuan utuh, tidak sebagaimana pendapat yang di ambil oleh saudara penulis "Gunung Berapi (ke) Hilir". 

Jika kita melihat pada baris kesatu dan baris ketiga dalam naskah tersebut telah menggunakan kata-kata kepada dengan imbuhan "ke", artinya jika dimaksudkan penulisan celak piagam tersebut Gunung Berapi (ke) hilir maka sudah pasti ada "ke" yang disisipkan. Tambahan lagi pada baris ketiga TK 171 tersebut telah ada kata ganti "nya" pada kata-kata "Depati mangku Bumi empunya segala". Jika mengikut kepada tata tulis yang dibuat dalam naskah ini sendiri sudah barang tentu akan ditambahkan pula dengan kata ganti "Gunung Berapi (ke) hilir (nya)". Atas dasar ini, saya berkesimpulan tetap bahwa "Gunung Berapi Hilir"  adalah sebuah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam TK 171. 

Tambahan lagi, mengikut pendapat saudara hafiful sendiri ditilik dari tulisan penulis sendiri "Kata "hilir" dan kata "mudik" di Kerinci (bahkan di Sumatra) umumnya digunakan untuk menunjukkan arah menggantikan sistem mata angin" maka seharusnya jika dari perspektif tersebut baik perspektif penerbit celak piagam (jambi) maupun depati tanah sekudung (siulak sekeliling) seharusnya naskah tersebut berbunyi "Gunung Berapi Mudik". Bukankah sampai saat ini arah ke gunung kerinci masih dianggap sebagai mudik ?

Sekarang kita berpindah pula kepada dua naskah cap mohor dalam katalog Dr. Annabel Teh Gallop dengan nomor #661 dan #669. Pada cap mohor #661 tertulis sebagai berikut "hingga kaki Gunung Berapi hilir hulu dari Jambi mudik", sedangkan pada cap mohor #669 tertulis sebagai berikut "Menyerahkan segala anak Minangkabau hingga kaki Gunung Berapi hilir sampai ke laut". 

Jika kita berpedoman dengan pendapat yang disampaikan oleh sudara Hafiful maka makna cap nomor #661 menjadi bias, yakni " hingga kaki Gunung Berapi (ke)hilir(nya) hulu dari Jambi mudik". Saya terus terang tidak dapat menangkap maksud dari pembacaan "kehilirnya hulu dari jambi mudik", yang tepat jika naskah itu dibaca sebagai sebuah kesatuan maka tampak jelas perkataan bahwa sejak dari "gunung berapi hilir" yang merupakan hulu dari daerah Jambi sebelah mudik telah diserahkan oleh Sultan Abdul Jalil Minangkabau kepada "anaknya" Sultan Jambi. 

Pada Cap Mohor #669 jika mengikut pula pada interpretasi saudara penulis maka tidak diperlukan pula kata-kata "sampai" dalam cap mohor tersebut. Seterusnya saudara hafiful berpendapat bahwa maksud cap mohor ini hanyalah penyerahan terhadap "manusia" saja tidak termasuk "wilayahnya" sendiri. Agaknya saudara hafiful telah melenceng dari topik pembahasan mengenai gunung berapi hilir, karena interpretasi atas "penyerahan" itu tidak diperlukan dan tidak terkait sama sekali dengan frasa "Gunung Berapi Hilir" sebagai maksud dari tulisan ini. Interpretasi atas status "Penyerahan Rakyat" itu baik "Gunung berapi kehilirnya" maupun "gunung berapi hilir" tidak akan mendukung sama sekali. Seyogyanya, permasalahan segitiga Jambi, Johor dan Minangkabau yang melibatkan Puti Jamilan dari Minangkabau pada abad ke 16 tersebut di bahas pula oleh ahli-ahli maupun pelajar-pelajar pada topik yang lain. 

Tetapi karena sudah kadung dibahas oleh saudara Hafiful izinkan pula saya memberikan sedikit singgungan saja. Menurut informasi yang bersumber dari Naskah Leiden University dengan nomor Cod.Or.12.176 nomor III

Pada halaman 51 dst dalam naskah tersebut yang dikeluarkan oleh sultan seri ingalaga dari Jambi sebagai berikut : 

"Bab fasal undang-undang orang Batin Lima dan Batin Enam, Batin Delapan, yang di dalam Sungai Tembesi; ff. 56r-64v: fasal Batin Lima-, on ff. 57r and 61r it is stated that these laws came into force on 1 Rabi'ul-awal 1210/15 September 1795 by order of Sultan Ratu Seri Anglangka (?) (Ingalaga, pen) and were valid until the time of Sultan Ratu Muhammad Badaruddin (?); this fasal contains the Adat Minangkabau applicable to Minangkabaus living in Jambi; the Jawi text is missing on f. 58v. Van Ronkel 1921, p. 54, no. 135"

Sejalan dengan itu menurut naskah 

"1592. KITLV Or. 71

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun