Ketika hukum menjadi sandiwara, legitimasi negara runtuh dan ketidakadilan merajalela.
Pada akhirnya, kegagalan yang terus berulang dan sandiwara yang tak kunjung usai ini memicu respons yang tidak terhindarkan dari masyarakat. Tuntutan-tuntutan rakyat yang terumus dalam 17+8 adalah sebuah tamparan keras untuk para pejabat yang duduk di eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tuntutan ini bukan sekadar keluhan, melainkan sebuah reaktivasi dari semangat reformasi 1998 yang telah lama mati dan berbelok dari arah yang seharusnya. Ini adalah bukti bahwa masyarakat tidak lagi menganggap masalah-masalah ini sebagai "dagelan" atau "fobia," melainkan sebagai tragedi nyata yang memerlukan tindakan dan akuntabilitas.
Tuntutan 17+8 adalah sebuah tamparan keras, bukan lagi sekadar dagelan, melainkan panggilan untuk mengakhiri pertunjukan yang meninabobokan seluruh bangsa. Daftar tuntutan ini secara eksplisit mencerminkan kegagalan yang telah dibahas sebelumnya. Tuntutan untuk meluruskan kembali jalan reformasi adalah pengakuan bahwa mimpi indah tahun 1998 telah mati. Tuntutan untuk transparansi dan DPR kembali ke khitah fungsi sejatinya merupakan respons langsung terhadap sandiwara hukum dan lumpuhnya penegakan hukum yang terus terjadi. Perlu diperhatikan bahwa tuntutan 17+8 bukanlah serangkaian poin yang acak, melainkan sebuah respons kolektif yang mendalam terhadap kegagalan-kegagalan sistematis yang telah menjangkiti bangsa. Tuntutan ini menandai titik balik di mana masyarakat menolak untuk terus berdiam diri dalam "mimpi panjang" yang telah membelokkan reformasi dan membuat bangsa mengalami krisis berkepanjangan. Ini adalah sebuah penolakan terhadap narasi bahwa masalah-masalah serius hanyalah "dagelan" yang bisa diselesaikan dengan pertunjukan belaka.
Tuntutan 17+8 adalah panggilan terakhir yang harus didengar, sebuah panggilan untuk mengakhiri "sandiwara" dan "mimpi panjang" yang telah membelokkan upaya reformasi. Tuntutan ini adalah sebuah pengingat bahwa bangsa ini memiliki masalah-masalah yang belum terselesaikan, dan bahwa fobia-fobia artifisial tidak akan mampu menyelesaikan tragedi yang sesungguhnya .
Kesadaran-kesadaran seluruh rakyat, pejabat negeri, dan pengelola negeri ini semoga tidak lagi menjadi sebuah nyanyian sumbang yang meninabobokan kegagalan-kegagalan punggawa negeri dalam mewujudkan cita-cita proklamasi. Keadilan harus menjadi menara yang selalu menyadarkan segenap bangsa untuk mengelola kekayaan berlimpah yang dimiliki secara adil dan bermartabat.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI