Mohon tunggu...
Ghaffar Ephraim Tamba
Ghaffar Ephraim Tamba Mohon Tunggu... Pelajar

SISWA KELAS X

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Dagelan Para "Elite" Berujung pada Kembalinya Suara Rakyat

19 September 2025   22:15 Diperbarui: 19 September 2025   22:15 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia sedang menghadapi krisis mendalam, bukan hanya alam yang rusak, tetapi juga jiwa bangsa yang terkoyak oleh ketakutan dan sandiwara para pemimpin.

Dalam sebuah refleksi yang begitu puitis namun menusuk, seorang sastrawan pernah menggambarkan negeri ini sebagai "Republik Hantu," sebuah tempat di mana masyarakat mudah sekali terserang "fobia" oleh sesuatu yang sebenarnya tidak membahayakan, sementara tragedi yang sesungguhnya diabaikan. Metafora "fobia ulat bulu" adalah gambaran yang sempurna. Masyarakat ketakutan akan ledakan populasi ulat bulu yang sejatinya merupakan bagian dari siklus alam dan bahkan dapat mendatangkan berkah (buah yang lebat), tetapi mengabaikan bencana moralitas, kerusakan lingkungan, dan karut-marut politik yang menggerogoti bangsa. Ketakutan yang irasional ini, yang dapat dengan mudah ditangani dengan pengetahuan dan kesadaran, justru dieksploitasi untuk menciptakan drama publik, seperti meliburkan sekolah atau menyemprotkan pestisida secara membabi buta, yang pada akhirnya merugikan si penderita .

Lebih jauh lagi, fenomena "fobia" ini tidak hanya menjangkiti masyarakat, tetapi juga merasuk ke dalam diri para pemimpin. Mereka diliputi ketakutan-ketakutan yang melumpuhkan: presiden takut dimakzulkan, menteri takut di-reshuffle, dan partai politik takut dikeluarkan dari koalisi. Ketakutan-ketakutan pribadi ini telah berevolusi menjadi sebuah "fobia nasional" yang mencegah pengambilan keputusan yang berani dan bertanggung jawab. Sebagai gantinya, mereka lebih memilih untuk terjebak dalam arena yang sengaja memperkeruh masalah, memproduksi "bola liar" yang dilempar ke segala penjuru negeri hingga lepas tak terkendali. Dengan cara ini, permasalahan yang seharusnya dapat diselesaikan dengan cepat dan akurat justru dibuat berlarut-larut dan rumit, sebuah skenario yang menguntungkan mereka yang berada di balik layar .

Ketakutan irasional seringkali diproduksi dan dimanfaatkan untuk menutupi tragedi yang sesungguhnya.

Maka, tidak mengherankan jika karut-marut politik dan krisis ekonomi diangggap sebagai "dagelan" oleh banyak kalangan. Persepsi ini secara fundamental keliru. Menonton anggota parlemen yang sibuk menonton hal tidak pantas saat sidang paripurna bukanlah lelucon, melainkan sebuah tragedi. Kemiskinan yang diderita sebagian besar masyarakat bukanlah dagelan, melainkan tragedi akibat kerakusan para elit di eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pertunjukan politik yang terus dipentaskan ini, yang sengaja meninabobokan masyarakat, adalah mekanisme untuk menyembunyikan tragedi yang sesungguhnya. Dalam "Republik Hantu," substansi kekuasaan telah hilang, hanya menyisakan hantu-hantu ketakutan dan pertunjukan yang memanipulasi kesadaran publik .

Paradigma "dagelan" dan "fobia" ini menemukan manifestasi paling nyata dalam kasus-kasus penegakan hukum yang berlarut-larut dan penuh drama, seperti sandiwara pengusutan pagar laut ilegal di perairan Banten. Sebuah proyek ilegal yang melibatkan pemasangan patok-patok bambu sepanjang 30,16 kilometer sejak tahun 2023, kasus ini seharusnya dapat diselesaikan dengan cepat karena melibatkan banyak pihak yang dapat dimintakan keterangan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Penanganan kasus ini diselimuti ketidakjelasan dan kontradiksi yang mencengangkan, sebuah pertunjukan yang sengaja dibuat untuk membingungkan publik .

Berbagai institusi negara yang seharusnya bekerja secara sinergis justru terlibat dalam drama yang saling bertentangan. Menteri Kelautan dan Perikanan, misalnya, menganggap pembongkaran pagar laut sebagai hal yang tidak semestinya karena material bambu tersebut adalah barang bukti. Di sisi lain, Komandan Pangkalan Utama TNI AL III Jakarta mengklaim pembongkaran dilakukan atas perintah Presiden. Lebih lanjut, proses hukum menjadi simpang siur dengan pernyataan Kepala Korps Kepolisian Perairan dan Udara Polri bahwa belum ada tindak pidana, sementara Kementerian Kelautan dan Perikanan berdalih hanya memiliki wewenang dalam penindakan administrasi. Drama ini, yang terasa seperti adegan dalam sinetron, bukanlah kegagalan birokrasi yang pasif, melainkan sebuah manifestasi dari negara yang telah "kalah di hadapan kepentingan pengusaha" .

Penanganan kasus yang bertele-tele ini menguatkan anggapan bahwa ketidakadilan hukum dan lumpuhnya penegakan hukum yang telah lama disoroti bukan lagi sebuah kelalaian, melainkan sebuah sistem yang telah dimanipulasi. Dugaan bahwa pagar laut ilegal ini berhubungan erat dengan proyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) Tropical Coasland, yang melibatkan pembagian antara dua perusahaan besar, menyingkapkan motif sebenarnya di balik sandiwara ini. Proyek ini sendiri sarat masalah sejak awal, mulai dari tidak sesuai dengan rencana tata ruang hingga penetapannya sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) yang tercium "aroma politik balas budi". Oleh karena itu, sandiwara penegakan hukum atas kasus ini adalah cerminan sempurna dari bagaimana hukum dibengkokkan demi melayani kepentingan segelintir elite superkaya, yang pada akhirnya merusak kepercayaan publik dan berpotensi memicu konflik sosial yang jauh lebih besar .

Fenomena sandiwara hukum dan dagelan politik yang telah mengakar ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya krisis yang jauh lebih mendalam: krisis moralitas dan etika. Hal ini terlihat jelas ketika sumpah jabatan yang diucapkan oleh para anggota DPR, sebuah lafal yang seharusnya menjadi kompas moral dan pedoman hidup, kini tak ubahnya "teks mati" yang tak punya arti. Mereka bersumpah untuk berpedoman pada UUD 1945, mengutamakan kepentingan bangsa, dan berjuang demi tegaknya demokrasi, namun pada kenyataannya, sumpah itu dilupakan demi agenda pengabaian konstitusi .

Etika kehidupan berbangsa dan bernegara, yang telah diatur dalam Ketetapan MPR No. VI/2001, hanya menjadi "ornamen" belaka, seolah-olah hiasan kosong tanpa substansi. Kondisi ini menggambarkan sebuah realitas yang menyedihkan, di mana nilai-nilai pribadi dan golongan ditempatkan jauh di atas kepentingan rakyat yang telah mereka wakili. Krisis ini, yang telah berlangsung selama bertahun-tahun, menjelaskan mengapa tuntutan reformasi 1998 --- seperti pemberantasan KKN, penegakan supremasi hukum, dan amandemen konstitusi --- masih terasa sangat relevan hingga kini .

Kerusakan alam dan moralitas yang terjadi saat ini, sejatinya merupakan cermin dari janji-janji yang tak pernah terwujud, sebuah sumpah yang telah lama menjadi teks mati. Bangsa ini menderita krisis keteladanan, di mana "muazin" bangsa yang dulu menjadi penunjuk arah kini telah hilang, digantikan oleh pemimpin yang justru sibuk dengan sandiwara yang meninabobokan rakyat. Kegagalan penegakan hukum yang kronis dan degradasi moral yang sistematis bukanlah sebuah kebetulan, melainkan hasil logis dari runtuhnya fondasi etika. Tanpa kompas moral yang kuat, sandiwara dan dagelan menjadi satu-satunya pertunjukan yang tersisa di panggung kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun