Pertama, mulailah dari data, bukan perkiraan. Lakukan audit teknis terhadap sekolah-sekolah eksisting: uji tanah, uji beton, dan uji struktur. Data inilah yang menentukan langkah revitalisasi, bukan sekadar insting.
Kedua, gunakan teknologi sederhana tetapi efektif, misalnya Building Information Modeling (BIM) versi ringan untuk memantau progres konstruksi dan kualitas pekerjaan secara visual. Bahkan dengan laptop sederhana pun bisa dilakukan.
Ketiga, libatkan masyarakat sekitar sekolah sebagai pengawas sosial. Mereka dapat melaporkan progres dan kondisi bangunan melalui aplikasi berbasis foto. Ini bukan hanya soal transparansi, tetapi juga menumbuhkan rasa memiliki.
Keempat, sediakan dana pemeliharaan. Saya sering mengatakan kepada pejabat daerah: bangunan tanpa rencana perawatan ibarat tubuh tanpa imun. Idealnya, tiga persen dari total biaya proyek dialokasikan untuk pemeliharaan tahun pertama.
Agus:
Apakah sudah ada contoh di Aceh yang berhasil menerapkan prinsip-prinsip tersebut?
IMH:
Ada beberapa contoh menarik, salah satunya di Aceh Besar. Sekolah-sekolah yang dibangun dengan desain modular berbasis tanah lokal serta melibatkan universitas sebagai pengawas teknis terbukti lebih awet.
Strukturnya kuat, ventilasi alami berfungsi baik, dan biaya pemeliharaan menurun hingga 40 persen.
Artinya, ketika sains dan tata kelola berjalan beriringan, hasilnya nyata.
Agus: