Bayangkan, ada sekolah yang dibangun tanpa uji tanah, padahal karakter geoteknik Aceh sangat beragam---dari tanah pesisir yang lunak hingga area pegunungan dengan lapisan keras. Akibatnya, baru dua tahun berdiri, kolom retak, lantai turun. Itu bukan takdir, melainkan konsekuensi dari desain yang tidak berbasis data teknis.
Agus:
Jadi, ketika pemerintah mengatakan revitalisasi sekolah di Aceh "dipastikan tidak akan mangkrak," dari sudut pandang seorang ahli struktur, bagaimana kepastian itu bisa diwujudkan?
IMH:
Kepastian itu tidak boleh dimaknai sebagai janji politik, melainkan komitmen teknis yang dapat diukur.
Ada tiga pilar yang harus berjalan bersamaan:
1. Desain adaptif dan tahan gempa,
2. Pengawasan mutu tiga lapis, dan
3. Sistem pemeliharaan pascakonstruksi.
Pertama, desain adaptif. Setiap bangunan harus melalui soil investigation sebelum desain dibuat. Kita tidak boleh lagi membangun sekolah dengan desain seragam untuk seluruh Aceh. Sekolah di Lhokseumawe tentu berbeda dengan di Simeulue. SNI 1726:2019 sudah mengatur ketahanan gempa; tinggal bagaimana kita disiplin menerapkannya.
Kedua, pengawasan mutu tiga lapis. Mulai dari self-check oleh kontraktor, supervision check mingguan, hingga independent audit bulanan. Jika sistem ini dijalankan konsisten, saya yakin tidak akan ada proyek yang mangkrak atau kualitasnya menurun.