Mohon tunggu...
agoesryoga
agoesryoga Mohon Tunggu... PENULIS

membaca, menulis, foto, olah raga, politik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

UUPA dan MoU Helsinki, Menjaga Damai Menegakkan Keadilan

6 Oktober 2025   22:49 Diperbarui: 6 Oktober 2025   22:49 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oleh: Laksamana Muflih Iskandar. Penulis adalah Mahasiswa asal Aceh di Program Doktor Pengkajian Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

UUPA dan MoU Helsinki: Menjaga Damai, Menegakkan Keadilan

Dua puluh tahun sudah berlalu sejak Aceh menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Pemerintah Republik Indonesia di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005. Dunia saat itu menyaksikan sebuah momen bersejarah: berakhirnya konflik bersenjata panjang yang telah menelan banyak korban jiwa dan mengoyak sendi-sendi sosial masyarakat Aceh.

Sebagai tindak lanjut dari perjanjian tersebut, lahirlah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) --- sebuah payung hukum yang mengukuhkan status Aceh sebagai daerah dengan otonomi khusus yang luas. UUPA menjadi instrumen politik dan hukum yang diharapkan mampu menerjemahkan semangat perdamaian ke dalam sistem pemerintahan yang adil, demokratis, dan berpihak kepada rakyat.

Namun, setelah dua dekade damai, muncul pertanyaan mendasar: apakah Aceh telah benar-benar menunaikan amanat perdamaian itu? Apakah UUPA dan MoU Helsinki telah menjelma menjadi jalan menuju kesejahteraan dan keadilan sosial yang hakiki?

Dari Konflik Bersenjata ke Konflik Kepentingan

Tidak dapat disangkal, MoU Helsinki adalah pencapaian monumental. Ia berhasil menghentikan perang, memulihkan rasa aman, dan membuka ruang demokrasi bagi rakyat Aceh. Tetapi, sebagaimana diingatkan oleh teori resolusi konflik modern, perdamaian sejati tidak hanya berarti berhentinya kekerasan (negative peace), tetapi juga hadirnya keadilan sosial dan kesejahteraan (positive peace).

Kini, setelah damai terwujud, konflik bersenjata memang telah berhenti, tetapi muncul bentuk baru: konflik kepentingan dan ketimpangan kesejahteraan. Ketika senjata diletakkan, politik dan ekonomi menjadi arena perebutan baru.

Fenomena yang disebut para peneliti sebagai elite capture --- penguasaan sumber daya oleh segelintir elit --- terjadi di berbagai sektor. Dana otonomi khusus (Otsus) yang begitu besar seharusnya menjadi mesin pemerataan ekonomi, tetapi dalam praktiknya sering terjebak pada proyek jangka pendek dan kepentingan politik sesaat.

Akibatnya, angka kemiskinan Aceh masih relatif tinggi dibanding rata-rata nasional. Banyak daerah pedesaan tetap terbelakang, sementara sebagian kecil kelompok menikmati "dividen damai" secara tidak proporsional. Damai memang ada, tetapi belum adil.

UUPA: Produk Hukum yang Kehilangan Ruh

UUPA sejatinya bukan hanya kumpulan pasal hukum, melainkan roh moral dari perjanjian Helsinki. Di dalamnya terkandung cita-cita besar: rekonsiliasi, partisipasi rakyat, pengakuan budaya, dan penguatan keadilan sosial.

Namun, dalam dua dekade pelaksanaannya, sebagian amanat UUPA belum dijalankan secara utuh. Banyak ketentuan dijalankan setengah hati, bahkan ada yang diabaikan karena tarik-menarik kepentingan.

Salah satu contohnya adalah agenda keadilan transisional. MoU Helsinki dan UUPA sama-sama menegaskan pentingnya pengakuan terhadap korban pelanggaran HAM, rekonsiliasi sosial, dan penyembuhan luka masa lalu. Sayangnya, pelaksanaan amanat ini tersendat. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh baru berjalan sebagian, dan masih menghadapi tantangan politik serta anggaran.

Selain itu, semangat partai politik lokal yang dahulu menjadi simbol kedaulatan rakyat kini kerap kehilangan arah ideologis. Politik Aceh sering kali terjebak pada pragmatisme kekuasaan, bukan lagi perjuangan moral untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat sebagaimana semangat awal perjuangan damai.

Perdamaian yang Hidup, Bukan Sekadar Teks

Sebagai mahasiswa asal Aceh, lahir dan besar di Aceh, saya menekuni studi resolusi konflik, saya melihat bahwa tantangan Aceh hari ini bukan lagi menjaga damai dari ancaman kekerasan, tetapi menghidupkan kembali makna damai itu sendiri.

Perdamaian sejati adalah proses yang terus tumbuh, bukan sekadar hasil dari sebuah perjanjian. Ia hidup ketika masyarakat merasakan keadilan, ketika korban mendapatkan pengakuan, ketika anak-anak bisa bersekolah tanpa rasa takut, dan ketika pemerintah menjalankan amanah dengan jujur.

Karena itu, UUPA dan MoU Helsinki seharusnya dipahami sebagai living documents --- dokumen yang hidup, yang terus ditafsirkan dan diaktualisasikan dalam setiap kebijakan publik. Pemerintah Aceh dan para pemimpinnya tidak boleh memandang kedua dokumen itu sekadar warisan sejarah, tetapi sebagai pedoman moral dalam merancang masa depan Aceh.

Langkah Strategis untuk Pemimpin Aceh

Untuk menjadikan perdamaian lebih bermakna, ada beberapa langkah strategis yang perlu segera dilakukan oleh para pemimpin Aceh hari ini dan ke depan:

1. Reorientasi visi pembangunan Aceh. Fokuskan pembangunan pada pemberdayaan rakyat, bukan sekadar proyek fisik. Dana otonomi khusus harus diarahkan untuk memperkuat desa, petani, nelayan, dan pelaku usaha kecil.

2. Perkuat lembaga pengawas implementasi MoU dan UUPA. Bentuk lembaga independen yang melibatkan unsur masyarakat sipil, akademisi, dan korban untuk memantau pelaksanaan amanat perdamaian secara berkelanjutan.

3. Percepat penyelesaian keadilan bagi korban konflik. KKR Aceh harus diperkuat dengan dukungan politik dan keuangan yang memadai. Pengakuan dan reparasi bagi korban merupakan pondasi moral dari perdamaian.

4. Tanamkan pendidikan perdamaian sejak dini. Anak-anak Aceh perlu diajarkan sejarah konflik dan perdamaian sebagai pelajaran moral, agar mereka tumbuh dengan kesadaran bahwa damai adalah hasil perjuangan dan harus dijaga bersama.

5. Bangun kepemimpinan yang bermoral. Pemimpin Aceh harus menempatkan integritas di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Perdamaian tidak akan bertahan tanpa kejujuran dan tanggung jawab moral.

Keadilan adalah Nafas Perdamaian


Perdamaian tanpa keadilan ibarat tubuh tanpa nafas --- terlihat hidup, tetapi sejatinya rapuh. Aceh telah membuktikan kepada dunia bahwa konflik bisa diakhiri melalui dialog, bukan senjata. Namun, tugas besar kita belum selesai: memastikan bahwa hasil perdamaian benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat Aceh, bukan hanya oleh segelintir orang.

Keadilan bagi korban, pemerataan ekonomi, dan pemerintahan yang transparan adalah tiga pilar utama yang harus dijaga. Inilah bentuk nyata dari positive peace --- perdamaian yang berkeadilan, yang menyehatkan hubungan sosial, dan yang melahirkan harapan bagi generasi mendatang.

Penutup:


Dari Damai yang Diam ke Damai yang Bermakna

Kini saatnya Aceh beranjak dari damai yang diam menuju damai yang bermakna.
Kita tidak lagi berhadapan dengan peluru dan senjata, melainkan dengan godaan kekuasaan dan ketidakadilan. Tantangannya berbeda, tetapi taruhannya sama besar: masa depan Aceh.

UUPA dan MoU Helsinki bukanlah catatan masa lalu, melainkan janji yang terus hidup. Janji bahwa Aceh akan damai dengan kehormatan, sejahtera dengan keadilan, dan maju dengan kearifan.

Dan janji itu hanya bisa ditepati jika para pemimpin Aceh memimpin dengan hati yang bersih, pikiran yang jernih, dan keberanian untuk menegakkan keadilan --- meski melawan arus. (*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun