UUPA sejatinya bukan hanya kumpulan pasal hukum, melainkan roh moral dari perjanjian Helsinki. Di dalamnya terkandung cita-cita besar: rekonsiliasi, partisipasi rakyat, pengakuan budaya, dan penguatan keadilan sosial.
Namun, dalam dua dekade pelaksanaannya, sebagian amanat UUPA belum dijalankan secara utuh. Banyak ketentuan dijalankan setengah hati, bahkan ada yang diabaikan karena tarik-menarik kepentingan.
Salah satu contohnya adalah agenda keadilan transisional. MoU Helsinki dan UUPA sama-sama menegaskan pentingnya pengakuan terhadap korban pelanggaran HAM, rekonsiliasi sosial, dan penyembuhan luka masa lalu. Sayangnya, pelaksanaan amanat ini tersendat. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh baru berjalan sebagian, dan masih menghadapi tantangan politik serta anggaran.
Selain itu, semangat partai politik lokal yang dahulu menjadi simbol kedaulatan rakyat kini kerap kehilangan arah ideologis. Politik Aceh sering kali terjebak pada pragmatisme kekuasaan, bukan lagi perjuangan moral untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat sebagaimana semangat awal perjuangan damai.
Perdamaian yang Hidup, Bukan Sekadar Teks
Sebagai mahasiswa asal Aceh, lahir dan besar di Aceh, saya menekuni studi resolusi konflik, saya melihat bahwa tantangan Aceh hari ini bukan lagi menjaga damai dari ancaman kekerasan, tetapi menghidupkan kembali makna damai itu sendiri.
Perdamaian sejati adalah proses yang terus tumbuh, bukan sekadar hasil dari sebuah perjanjian. Ia hidup ketika masyarakat merasakan keadilan, ketika korban mendapatkan pengakuan, ketika anak-anak bisa bersekolah tanpa rasa takut, dan ketika pemerintah menjalankan amanah dengan jujur.
Karena itu, UUPA dan MoU Helsinki seharusnya dipahami sebagai living documents --- dokumen yang hidup, yang terus ditafsirkan dan diaktualisasikan dalam setiap kebijakan publik. Pemerintah Aceh dan para pemimpinnya tidak boleh memandang kedua dokumen itu sekadar warisan sejarah, tetapi sebagai pedoman moral dalam merancang masa depan Aceh.
Langkah Strategis untuk Pemimpin Aceh
Untuk menjadikan perdamaian lebih bermakna, ada beberapa langkah strategis yang perlu segera dilakukan oleh para pemimpin Aceh hari ini dan ke depan:
1. Reorientasi visi pembangunan Aceh. Fokuskan pembangunan pada pemberdayaan rakyat, bukan sekadar proyek fisik. Dana otonomi khusus harus diarahkan untuk memperkuat desa, petani, nelayan, dan pelaku usaha kecil.