2. Perkuat lembaga pengawas implementasi MoU dan UUPA. Bentuk lembaga independen yang melibatkan unsur masyarakat sipil, akademisi, dan korban untuk memantau pelaksanaan amanat perdamaian secara berkelanjutan.
3. Percepat penyelesaian keadilan bagi korban konflik. KKR Aceh harus diperkuat dengan dukungan politik dan keuangan yang memadai. Pengakuan dan reparasi bagi korban merupakan pondasi moral dari perdamaian.
4. Tanamkan pendidikan perdamaian sejak dini. Anak-anak Aceh perlu diajarkan sejarah konflik dan perdamaian sebagai pelajaran moral, agar mereka tumbuh dengan kesadaran bahwa damai adalah hasil perjuangan dan harus dijaga bersama.
5. Bangun kepemimpinan yang bermoral. Pemimpin Aceh harus menempatkan integritas di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Perdamaian tidak akan bertahan tanpa kejujuran dan tanggung jawab moral.
Keadilan adalah Nafas Perdamaian
Perdamaian tanpa keadilan ibarat tubuh tanpa nafas --- terlihat hidup, tetapi sejatinya rapuh. Aceh telah membuktikan kepada dunia bahwa konflik bisa diakhiri melalui dialog, bukan senjata. Namun, tugas besar kita belum selesai: memastikan bahwa hasil perdamaian benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat Aceh, bukan hanya oleh segelintir orang.
Keadilan bagi korban, pemerataan ekonomi, dan pemerintahan yang transparan adalah tiga pilar utama yang harus dijaga. Inilah bentuk nyata dari positive peace --- perdamaian yang berkeadilan, yang menyehatkan hubungan sosial, dan yang melahirkan harapan bagi generasi mendatang.
Penutup:
Dari Damai yang Diam ke Damai yang Bermakna
Kini saatnya Aceh beranjak dari damai yang diam menuju damai yang bermakna.
Kita tidak lagi berhadapan dengan peluru dan senjata, melainkan dengan godaan kekuasaan dan ketidakadilan. Tantangannya berbeda, tetapi taruhannya sama besar: masa depan Aceh.
UUPA dan MoU Helsinki bukanlah catatan masa lalu, melainkan janji yang terus hidup. Janji bahwa Aceh akan damai dengan kehormatan, sejahtera dengan keadilan, dan maju dengan kearifan.